Bilik telepon umum yang dinamakan “telepon angin” itu awalnya dipakai para penyintas untuk menelpon keluarganya yang tewas akibat tsunami 10 tahun silam. Namun belakangan banyak dipakai warga dari penjuru Jepang untuk menghubungi keluarganya yang mati akibat sakit atau bunuh diri.
Warga Jepang telah memakai telepon angin untuk melepas rindu kepada orang tercintai yang meninggal karena tsunami.Bilik telepon putih itu dibangun di bawah pohon ceri rindang. Terlihat pria bernama Kazuyoshi Sasaki menelepon nomor ponsel mendiang istrinya, Miwako.[caption id="attachment_445108" align="alignnone" width="600"] Kazuyoshi Sasaki, 67, yang kehilangan istrinya, Miwako, dalam gempa bumi dan tsunami 11 Maret 2011, terisak-isak saat “menelepon” mendiang istrinya di dalam bilik telepon angina. (Foto: Reuters)[/caption]Dia menceritakan bagaimana dia mencarinya selama berhari-hari setelah gempa bumi dan tsunami dahsyat sepuluh tahun lalu, mengunjungi pusat evakuasi sampai ke tempat penampungan mayat sementara, kemudian kembali pada malam hari ke reruntuhan rumah mereka."Itu semua terjadi dalam sekejap, aku tidak bisa melupakannya bahkan sekarang," katanya sambil menangis sambil memegang gagang telepon hitam."Aku mengirimimu pesan untuk memberitahumu di mana aku berada, tapi kamu tidak pernah membalasnya.""Ketika aku kembali ke rumah dan melihat ke langit, ada ribuan bintang, itu seperti melihat kotak permata," kata pria berusia 67 tahun itu."Aku menangis dan terus menangis, tahu bahwa begitu banyak orang telah meninggal."Istri Sasaki adalah satu dari hampir 20.000 orang di timur laut Jepang yang tewas akibat bencana yang melanda 11 Maret 2011.https://www.youtube.com/watch?v=ZSGvrPASmHkDia telah mengenal dan mencintai istrinya Miwako hampir sepanjang hidupnya dan pertama kali menyatakan cintanya ketika mereka berdua masih di sekolah menengah pertama, tetapi saat itu dia ditolak. Baru 10 tahun kemudian keduanya mulai berkencan. Akhirnya, mereka menikah dan memiliki empat anak.Sasaki menjelaskan kepada istrinya bahwa dia baru saja pindah dari rumah sementara dan putra bungsu mereka sekarang membangun rumah baru di mana dia dapat tinggal bersama cucu mereka.Sebelum menutup telepon, Sasaki memberi tahu Miwako bahwa cek medisnya yang terakhir menunjukkan berat badannya turun."Aku akan menjaga diriku sendiri," dia berjanji kepada mendiang istrinya. "Aku sangat senang kita bertemu, terima kasih, kita semua melakukan apa yang kita bisa, aku akan menelepon kamu lagi."Seperti ribuan orang lainnya di permukiman pesisir yang hancur, Kazuyoshi Sasaki, yang juga merupakan anggota dewan kota, tidak hanya kehilangan istrinya tetapi banyak kerabat dan teman lainnya dalam bencana tersebut.Banyak penyintas tsunami mengatakan saluran telepon yang tidak terhubung di kota Otsuchi membantu mereka tetap berhubungan dengan orang yang mereka cintai, paling tidak memberi penghiburan di kala sedih.Sebelum Sasaki menelepon istrinya pada hari itu, Sachiko Okawa menelepon Toichiro, mendiang suaminya yang dinikahinya selama 44 tahun. Dia bertanya kepadanya tentang rutinitasnya sejak dia tersapu oleh tsunami satu dekade lalu."Aku kesepian," katanya dengan suara serak, dan meminta Toichiro untuk menjaga keluarga mereka. "Sampai jumpa lagi, aku akan segera kembali."Okawa mengatakan dia terkadang merasa dia bisa mendengar suara Toichiro di ujung telepon."Itu membuatku merasa sedikit lebih baik," kata Okawa.Perempuan 76 tahun, yang mengetahui tentang bilik telepon di taman lereng bukit dari teman-temannya, sering membawa kedua cucunya ke sana agar mereka juga dapat berbicara dengan kakek mereka."Kakek, sudah 10 tahun berlalu dan aku akan masuk SMP," kata Daina, cucu Okawa yang berusia 12 tahun, saat mereka semua masuk ke dalam kotak telepon. "Ada virus baru yang membunuh banyak orang dan itulah mengapa kita memakai masker. Tapi kita semua baik-baik saja."Bilik telepon dibangun oleh Itaru Sasaki, yang memiliki sebuah taman di Otsuchi, kota yang teletak sekitar 500 km timur laut Tokyo, beberapa bulan sebelum bencana, setelah dia kehilangan sepupunya karena kanker."Ada banyak orang yang tidak bisa mengucapkan selamat tinggal," katanya. "Ada keluarga yang berharap mereka bisa mengatakan sesuatu jika mereka bisa bercakap lagi."Bilik telepon itu kini menarik ribuan pengunjung dari seluruh Jepang. Telepon itu tidak hanya digunakan oleh para penyintas tsunami, tetapi juga oleh orang-orang yang kehilangan sanak saudara karena sakit dan bunuh diri. Telepon itu dijuluki "telepon angin" atau Kaze-no-Denwa. Telepon angin itu bahkan menginspirasi sebuah film baru-baru ini.Beberapa bulan lalu, Sasaki mengatakan dia didekati oleh penyelenggara yang ingin memasang bilik telepon serupa di Inggris dan Polandia, yang memungkinkan orang menelepon kerabat mereka yang hilang dalam pandemi virus corona."Layaknya bencana, pandemi datang tiba-tiba dan ketika kematian datang mendadak, kesedihan yang dialami sebuah keluarga juga jauh lebih besar," kata pria Jepang berusia 76 tahun, yang membuat telepon angin itu.
Reuters
Baca Juga :