Apakah tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC)?
Pada bulan Januari lalu, tim hukum Front Pembela Islam (FPI) mengatakan mereka telah melaporkan peristiwa itu ke ICC.
Sebelumnya Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengumumkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa tewasnya enam anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek, Jawa Barat itu.
Hasil investigasi Komnas HAM menyatakan bahwa empat anggota FPI tewas tertembak dalam pembunuhan di luar hukum. Komnas HAM berkesimpulan demikian karena aparat polisi menembak mereka tanpa lebih dulu berupaya menghindari bertambahnya korban.
Perlu kita pahami bersama bahwa ICC bukan “court of the world” yang dapat mengadili semua kasus yang dilaporkan kepadanya.
Lebih lanjut, ada tiga persyaratan yang berlaku dan harus terpenuhi agar ICC dapat menindaklanjuti laporan kasus penembakan tersebut. Semua syarat itu sejauh ini tidak dapat terpenuhi.
Syarat kedua adalah trigger of jurisdiction yaitu mekanisme penyampaian laporan dengan maksud memohon kepada ICC untuk melaksanakan yurisdiksinya, yang dapat terpenuhi dengan adanya salah satu dari tiga cara.
Cara pertama adalah jika negara Indonesia menjadi Negara Anggota dari Statuta Roma yang kemudian secara resmi melaporkan kasus penembakan FPI ke ICC.
Cara kedua adalah jika negara Indonesia mengajukan “Deklarasi Pasal 12(3)” Statuta Roma atas kasus penembakan tersebut.
Deklarasi ini dimaksudkan bagi negara yang bukan Negara Anggota tetap Statuta Roma, akan tetapi di sisi lain masih membutuhkan bantuan ICC untuk mengambil alih kasus-kasus tertentu.
Deklarasi ini bersifat sementara, artinya, ICC hanya akan memiliki yurisdiksi atas kasus yang dilaporkan dalam Deklarasi sampai penanganan kasus selesai.
Cara ketiga adalah jika Dewan Keamanan (DK) PBB melaporkan kasus penembakan FPI ke ICC karena kasus tersebut ditemukan telah mengancam atau melanggar perdamaian, atau merupakan perbuatan agresi sesuai dengan Piagam PBB dan Statuta Roma.
Pada saat ini, tidak ada satu pun cara di atas yang terpenuhi.
Indonesia tidak pernah menandatangani serta meratifikasi Statuta Roma ataupun mengajukan “Deklarasi Pasal 12(3)”.
Dalam sejarah ICC, DK PBB hanya pernah melaporkan dua kasus ke ICC yaitu, kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang yang diduga telah terjadi di Sudan pada tahun 2005 dan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang diduga telah terjadi di Libya pada tahun 2011.
Dapat disimpulkan bahwa DK PBB hanya melaporkan dugaan kejahatan internasional ke ICC.
- Kejahatan tidak dapat diadili ICC
- Mekanisme pelaporan tidak terpenuhi
- Kasus tidak dapat diterima
Baca Juga :