Banyaknya laporan kasus perampasan tanah yang tak kunjung diselesaikan jadi sorotan Satgas Saber Pungli Kemenkopolhukam.
Adanya tumpang tindih surat kepemilikan tanah kerap dijadikan dalih pembenaran molornya penyelesaian kasus perampasan tanah.Kepala Sekretariat Satgas Saber Pungli Brigjen (pol) Bambang P. mengakui ada titik lemah pada lembaga terkait. Sehingga bisa ada dua surat asli yang diterbitkan BPN pada bidang yang sama.Menurutnya, salah satu dari surat tersebut diperoleh dengan cara yang tidak sah. Jadi, sebetulnya mudah menyelesaikannya, tinggal mengusut data awal kepemilikan sampai ke tingkat kelurahan.[caption id="attachment_427624" align="aligncenter" width="900"] Rapat Saber Pungli dengan Sejumlah Mitra Terkait di Jakarta, Selasa (19/1/2021) (Foto Istimewa)[/caption]"Kok ada, satu sertifikat hak milik tapi juga ada HGB di atas tanah tersebut. Sebetulnya penyelesaiannya mudah. Di BPN kan ada warkah, (sertifikat-red) ini kan produk BPN harus ditarik kebelakang. Memeriksa riwayat kepemilikan tanah, dokumen sampai di ditingkat desa/kelurahan. Kalo di desa itu ada petok D. Pasti akan ketemu pemilik tanah yang sah," ungkap Bambang usai rapat Saber Pungli dengan sejumlah mitra terkait di Jakarta, Selasa (19/1/2021).Bambang menambahkan, pemalsuan surat bisa terjadi saat proses pengajuan sertifikat. Namun jika bekerja dengan nurani, pasti akan mudah mengetahui siapa yang berhak atas tanah dengan dua surat kepemilikan."Kalau ingin mengungkap kebenaran, dengan hati nurani, pasti ketemu, siapa sebenarnya berhak atas tanah yang suratnya tumpang tindih,"tandasnyaSedangkan Sekretaris Saber Pungli Kemenkopolhukam Irjen ( pol ) Agung Makbul meminta warga untuk melaporkan ke Saber Pungli. Jika kasus perampasan tanahnya tidak ditindaklanjuti pihak terkait."Jika ada masalah perampasan tanah segera laporkan. Saber pungli ini bukan di kemenkopolhukam saja. Ada di setiap provinsi, sampai kabupaten. Andaikan laporan di Kabupaten itu lambat atau tidak diproses laporkan lagi ke provinsi," katanyaHampir dua tahun lalu, Presiden Jokowi memerintahkan jajaranya untuk menyelesaikan konflik Pertanahan. Namun hingga kini belum dirasakan oleh para korban perampasan tanah.Padahal, warga sudah lama melaporkan perampasan tanah ke Presiden dan sejumlah lembaga negara. Dengan sejumlah bukti terkait bahwa mereka tidak pernah menjual tapi hingga kini tanah mereka dikuasai pihak lain.Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia SK Budiardjo menyebut, perintah presiden tanggal 3 Mei 2019 tersebut sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA 1960.Dalam pembukaan, pemerintah, sebagai penyelenggara negara dibentuk untuk melindungi hak seluruh warga negara.Jadi, jika perintah tersebut diabaikan oleh jajaran pemerintah maka artinya telah melanggar UUD 45 ."Kami, berharap Perintah Pak Jokowi dalam Ratas 3 Mei 2019 Konflik Pertanahan dijalankan para pembantunya. Terutama oleh penegak hukum. Ini menyangkut hak warga negara yang dirampas tanahnya. Korban tidak pernah menjual tanah miliknya tetapi bisa dikuasai pihak lain tanpa membeli. Ini namanya perampasan, tetapi dibuat seolah legal karena juga memegang surat resmi" Kata Budiardjo usai rapat dengan tim saber pungli kemenkopolhukam di Jakarta, Selasa (19/1/2021).Ketua FKMTI S. Kendi Budiardjo mengungkapkan kasus perampasan tanah marak terjadi karena negara tidak menjalankan UU agraria no. 5/60 dan PP No 10/61.Padahal, kedua peraturan tersebut sangat berpihak kepada rakyat untuk melegitimasi tanah yang mereka miliki sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 45.Sayangnya, rezim Orde Baru justru menerbitkan PP 24/97 yang justru mengakomodasi kepentingan mafia perampas tanah rakyat."Penguasa negara pasca reformasi seharusnya mencabut PP no 24/97 yang bertentangan dengan UU agraria yang sudah sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila. Oknum BPN sering berlindung dibalik PP ini meski sebetulnya sudah tahu mereka salah menerbitkan SHGB di atas tanah SHM, girik milik rakyat yang tidak mereka jual kepada pengembang tersebut tetapi dikuasai tanpa membeli. Perampas hanya bermodal SHGB dan dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik, tanah hasil rampasan menjadi seolah-olah legal. Padahal jika ditanya warkah asal-usul HGB tersebut, Pihak BPN sering berkilah bahwa warkah belum atau tidak ditemukan" ujarnya.Menurut Budiardjo, kasus perampasan tanah tidak boleh dibiarkan berlarut. Selain merugikan korban juga akan menimbulkan konflik berkepanjangan mengganggu stabilitas politik keamanan, merusak persatuan bangsa. Jadi Pelaku perampasan tanah adalah Anti Pancasila dan Pemecah belah NKRI.Beberapa waktu laku, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Mahfud MD kembali angkat bicara soal adanya sejumlah perusahaan dan pengusaha hitam yang menguasai tanah negara hingga ratusan hektare melalui hak guna usaha atau HGU, HGP dll.Budiardjo berharap melalui Kepemimpinan Prof. Mahfud MD di Menkopolhukam dapat melaksanakan perintah Presiden dalam ratas 3 Mei 2019 tersebut karena Menkopolhukam memiliki fungsi Singkronisasi, Kordinasi, dan Rekomendasi.Fungsi kordinasi khususnya di penegakan hukum dengan memaksimalkan tim Saberpungli Menkopolhukam dengan mengadu data kepemilikan antara korban dan perampas tanah.Sedangkan menurut sekjen FKMTI Agus Muldya, selain HGU juga banyak lahan HGB yang bermasalah.Karena itu, Agus berharap, Saber Pungli Kemenkopolhukam bisa berkoordinasi dengan pihak terkait.Tujuannya agar kasus perampasan bisa diselesaikan dan korban mendapat keadilan. Caranya dengan membuka data asal usul kepemilikan lahan."Selama ini kan BPN/pemerintah daerah, banyak berkelit jika ditanya korban perampasan tanah. Mengapa di atas tanah mereka ada SHGB, Aparat negara tidak mau buka data dan menyuruh korban gugat ke pengadilan. Bagaimana mungkin di atas lahan yang sama ada dua surat asli terbitan BPN. Tinggal buka saja warkah tanahnya, salah satunya pasti tidak benar," ujarnya.Agus Muldya mengungkapkan sejumlah kasus perampasan tanah memiliki modus yang sama.Mafia perampas tanah tidak pernah membeli lahan dari pemilik tetapi bisa mendapatkan SHGB, SHP dll seolah-olah ilegal kemudian dengan surat tsb menguasai fisik secara paksa dengan menggunakan aparat.Agus menjelaskan beberapa kasus perampasan tanah yang dialami Robert Sudjasmin dan Rusli Wahyudi, Nugroho, Samiun dan para transmigran terjadi pada awal tahun 90-an."Pak Robert jelas beli tanah SHM dari lelang negara tahun 90. Sebelum dilelang sudah diverifikasi BPN bahwa tanah tersebut clear and clean. Tetapi dikuasai secara fisik oleh Summarecon. Pengadilan memutuskan pak robert bukan pemenang lelang no 388. Atas dasar itu BPN juga yang batalkan SHM pak robert. Padahal no lelang pak robert adalah nompr 338. Selain itu, letak objek tanah summarecon juga berbeda kelurahan. Tanah yang dibeli pak Robert berada di Pegangsaan sedangkan tanah Summarecon di Petukangan. Banyak kejanggalan tapi masih dibela oleh oknum pejabat BPN. Seharusnya setelah buka datanya dan ternyata jelas bukan punya perampas maka BPNn membatalkannya dan memberikan hak pak Robert, sesuai kewenangannya," ungkapnyaAgus menambahkan, perampasan tanah yang berstatus SHM juga terjadi pada Pak Patrick, Sri Cahyani, Karsidi dan ibu Tri. Selain SHM, tanah girik seperi yang dialami Rusli Wahyudi, Samiun, Sukra di kswasan Jabotabek.Perampasan juga dialami oleh BUMN seperti KAI, Pelindo, dan tanah untuk irigasi."Ini bukti juga perampasan tanah itu masif, membahayakan krn terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Hari ini sejumlah anggota FKMTI yang dirampas tanahnya termasuk tanah milik negara, mungkin besok atau lusa tanah anda juga bisa dirampas," pungkasnya.Agus Mudya Natakusumah menegaskan jika negara membiarkan perampasan tanah terus terjadi maka ini sudah melanggar pancasila dann UUD 45.Tanah hasil rampasan dan mendapat legitimasi negara dengan PP 24/97. PP tersebutyang justru mengakomodasi kepentingan mafia perampas tanah rakyat.Kisruh perampasan tanah juga disebabkan kewenangan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri dipangkas dalam urusan pertanahan sejak tahun 1993."Banyak kasus perampasan tanah terjadi pada awal tahun 90 an. Saat itu surat Ipeda, salinan letter diserahkan ke BPN. Jadi banyak tanah rakyat yang dikuasai pihak pengembang, perkebunan dan lain-lain,"ujarnya.Agus menambahkan, perampasan tanah blm disebutkan sebagai kejahatan yg luar biasa Bahkan, masih banyak pihak terkait yang belum bisa membedakan antara sengketa dan perampasan.Sehingga modus untuk melegitimasi tanah hasil rampasan, korban diarahkan untuk menggugat secar perdata. Jadi, seharusnya istilah perampasan tanah tertulis dalam Undang-Undang Pertanahan."Semoga Presiden Jokowi segera menyebutkan perampasan tanah itu bukan hanya mengganggu investasi tetapi juga membahayakan kedaulatan negeri," pungkasnya.
Baca Juga :