Keputusan yang menuai kontroversi. Namun Kementerian Kelautan dan Perikanan beralasan merevisi peraturan itu menjadi Permen KP No. 12 tahun 2020 agar "everybody happy" - nelayan, pembudi daya, eksportir dan negara mendapat keuntungan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah komando Edhy Prabowo membuka keran ekspor benih lobster dengan merevisi peraturan Menteri Susi Pudjiastuti tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.Penangkapan benih lobster atau benur dari alam untuk kemudian dijual ke luar negeri akan berdampak buruk bagi lingkungan, tidak meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan berpotensi menimbulkan praktik kecurangan, kata peneliti dan pegiat perikanan.Benur atau benih lobster merupakan komoditi kelautan yang memiliki nilai jual tinggi dan salah satu sumber plasma nutfah yang dimiliki oleh Indonesia.Di Lampung dan Jawa Tengah, harga benur di tingkat nelayan sekitar Rp10.000 hingga Rp30.000 per ekor dalam kondisi normal, dan menjadi sekitar Rp150.000 per ekor saat sudah berada di negara lain.Keran ekspor benur yang dibuka oleh Menteri KKP Edhy Prabowo, membuat harga jatuh tajam menjadi hanya ribuan rupiah per ekor. Tujuan mensejahterakan nelayan pun tidak tercapai, kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Bayu Witara.Dari sisi lingkungan, menurut LIPI, pengambilan benur dari alam liar merupakan `jalan pintas` untuk mendapatkan keuntungan besar yang merusak ekosistem dan populasi lobster di laut. Membuka keran ekspor, nelayan masih miskin
Setelah revisi peraturan menteri tentang benih lobster atau benur diterapkan, Menteri Edhy mengatakan terdapat daerah-daerah yang telah melakukan pembesaran benih lobster seperti di NTB, Sulawesi Tenggara hingga Lampung.Walaupun keran dibuka, para nelayan di Lampung cenderung pro dengan kebijakan Susi saat menjabat Menteri KKP dibandingkan Edhy. Demikian penuturan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Bayu Witara mengatakan kepada BBC News Indonesia, Rabu (25/11/2020)."Karena kebijakan Susi konservatif terhadap biota laut, seperti melarang cantrang, alat tangkap, ekspor benur dan lainnya yang menumbuhkan semangat nelayan bahwa laut bisa dijaga,"ucapnya.Di era Susi, benih lobster yang dilarang ditangkap dan diekspor adalah yang sedang bertelur atau ukuran karapaksnya (cangkang keras) kurang dari 8 cm dan berat di bawah 200 gram per ekor.Dalam sebuah cuitan pada 24 November 2020, Susi sempat menyentil tentang bisnis benur lobster.https://twitter.com/susipudjiastuti/status/1331174299793649664Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Bayu juga mengaku nelayan tidak diuntungkan dari kebijakan baru itu. "Tidak signifikan di perekonomian nelayan. Menurut saya keuntungan hanya didapat eksportir, nelayan dan pengusaha lokal tidak berdampak."Bayu menuturkan, harga satu ekor benur hanya ribuan rupiah di tingkat nelayan, padahal harganya melonjak tajam hingga ratusan ribu rupiah (per ekor) jika sudah diekspor."Ini karena tidak ada payung hukum hukum jelas di daerah -pergub dan perda-, akibatnya nelayan masih ilegal ambil benur yang dampaknya harga benih dipermainkan dan tidak mengalami kenaikan signifikan," tuturnya.Senada dengan itu, nelayan dari Banten Yayan juga menyebut kebijakan ekspor benur tidak dirasakannya."Kalau sejahtera masih jauh api dari panggang. Kalau pihak lain seperti pengepul di Jakarta dan eksportir menguntungkan, tapi bukan nelayan. Kami tetap miskin," kata Yayan.Mengamini penuturan itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menilai eksploitasi penangkapan benur secara besar-besaran menyebabkan harga jatuh. Jumlah benur di pasar melimpah, sedangkan di alam berkurang pesat. Sumber: Viva.co.id
Baca Juga :