"Kami merasa bahwa Kemenkop tidak melaksanakan Undang-Undang No.25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Banyak sekali kelalaian dalam fungsi Kemenkop sebagai regulator dan pengawas perkoperasian di Indonesia. Sudah 3 surat keluhan kami sampaikan berakhir tanpa tindak lanjut," ujar Rahja, Ketua Aliansi Korban KSP Sejahtera Bersama.
Sebelumnya, sejumlah anggota koperasi melaporkan pengurus dan direktur KSP Sejahtera Bersama atas dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan terkait investasi bodong ke Polda Jawa Barat, pada 20 Oktober 2020.
Kasusnya pun berlanjut ke jalur hukum di pengadilan tinggi Jakarta Pusat yang memutuskan terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Pada tanggal 20 Oktober lalu, proses PKPU tetap disahkan, tetapi kasus ini mencuat kembali karena korban tidak puas dengan revisi-revisi proposal Skema Perdamaian
Dasar ketidakpuasan korban antaran lain, dalam revisi itu tidak ada laporan keuangan resmi yang dipublikasikan di media mainstream sebagai acuan.
Selain itu tidak ada laporan daftar aset koperasi, daftar tagihan seluruh kreditur, hingga laporan rekening bank.
Aliansi korban juga berpendapat ada kesimpangsiuran data antara tim pengurus PKPU dan data KSP Sejahtera Bersama.
Antara lain menurut versi tim PKPU, jumlah anggota sebanyak 52.000 orang. Sedangkan versi KSP Sejahtera Bersama, jumlah anggota sebanyak 180.000 orang;
Sementara daftar tagihan juga ada 2 versi, yaitu sebesar Rp3 triliun saat laporan Rapat Anggota Tahunan 2019. Kemudian membengkak menjadi Rp7 triliun setelah PKPU sementara dipublikasikan pada 5 Oktober 2020.
Para korban juga menyesalkan mudahnya Kemenkop memberikan penghargaan kepada koperasi berindikasi bermasalah
Mereka menyebut, penghargaan terakhir diberikan oleh Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Propinsi Jawa Barat pada 10 Juni 2020 kepada KSP Sejahtera Bersama. Padahal koperasi itu sudah mengalami gagal bayar sejak April 2020.
Sudarmanto & Mahendra Dewanata I Jakarta.