Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan pendapatan kecil-menengah yang memiliki utang terbanyak yakni sekitar Rp5.940 triliun. Hal ini terungkap dalam International Debt Statistics 2021 atau Statistik Utang Internasional 2021 yang baru saja dikeluarkan oleh Bank Dunia.
Laporan Bank Dunia menyebutkan, Indonesia memiliki jumlah utang luar negeri sebesar USD402,08 miliar atau sekitar Rp5.940 triliun (kurs Rp 14.775) pada tahun 2019.
Hal tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko dan Turki. Banyak pihak yang mengkhawatirkan besarnya utang luar negeri Indonesia ini.
Staf Khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi, Masyita Crystallin menyatakan, utang Pemerintah Indonesia dikelola dengan sangat hati-hati dan akuntabel.
“Bu Sri Mulyani dikenal prudent dalam menjaga fiskal kita, sehingga resiko yang ada masih manageable dan terjaga,” ujar Masyita, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTVklik, Kamis (15/10/2020).
Ia melanjutkan, dalam 4 tahun terakhir, kebijakan fiskal kita diarahkan untuk mengurangi angka primary deficit, sudah sangat mendekati angka positif di tahun ini, sebelum pandemi terjadi.
“Data ini adalah data Utang Luar Negeri (ULN) total, termasuk swasta. Bukan semuanya utang Pemerintah Indonesia. ULN Pemerintah hanya 29.8 persen saja dari keseluruhan hutang Indonesia yang tercantum di dalam International Debt Statistics 2021 yang diterbitkan Bank Dunia. Sisanya merupakan utang swasta. Jauh jika dibandingkan dengan rerata negara sesama kategori BBB Fitch sebesar 51.7 persen,” ungkapnya.
[caption id="attachment_387767" align="alignnone" width="900"] Staf Khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi, Masyita Crystallin. (Foto: masyita.crystallin/Instagram).[/caption]
“Membandingkan ULN antar negara perlu melihat nilai PDB-nya juga, Ibarat membandingkan nilai KPR, perlu disesuaikan dengan penghasilan. Berbanding dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) porsi utang Indonesia hanya 35.8 persen per Oktober 2019. Selain itu, ULN kita juga jangka panjang membuat resiko fiskal kita untuk membayar kewajiban masih manageable,” jelas Masyita.
Selain itu, lanjutnya, kebijakan ULN tidak dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang berdiri sendiri. Negara yang sedang membangun memiliki nilai investasi yang lebih tinggi dari tingkat saving-nya atau dikenal sebagai Saving-Investment Deficit.
Dalam hal tersebut, perbedaannya ditutup dengan ULN. Sepanjang return terhadap investasi tersebut lebih tinggi dibandingkan biaya bunga, maka sebuah negara akan mampu membayar kembali.
“Untuk Indonesia sendiri, sebelum pandemi, ULN digunakan untuk membangun proyek-proyek strategis dengan tujuan untuk meningkatkan dan memeratakan pertumbuhan di seluruh pelosok,” kata dia.
“Kita perlu menutup gap infrastruktur dan mengurangi biaya logistik agar dapat meningkatkan daya saing. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas pertumbuhan ekonomi potensial,” terang Masyita.
Reformasi struktural ekonomi dilakukan untuk memperkuat ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Namun, sustainability ULN perlu dijaga dan ini bergantung pada kemampuan membayar lagi, potensi penerimaan dalam negeri dan potensi pertumbuhan ekonomi.
Selain itu ada pula pertimbangan yang lebih mengarah ke debt management seperti proporsi utang Valuta Asing dan Average Time Maturity (ATM).
Dijelaskan, dari keseluruhan jumlah ULN, sebagian besar (88.4 persen) merupakan utang jangka panjang. Ini membuat risiko fiskal Indonesia jangka panjang juga masih terjaga karena beberapa alasan.
Pertama, porsi utang valas (29 persen) per 31 Agustus 2020) masih terjaga sehingga resiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik (manageable).
Kedua, profil jatuh tempo utang kita juga cukup aman dengan Average Time Maturity atau ATM 8,6 tahun (per Augstus 2020) dari 8.4 tahun dan 8,5 tahun di tahun 2018 dan 2019.
Ia juga menyampaikan beberapa strategi Pemerintah untuk mengelola utangnya. Beberapa di antaranya adalah melakukan buyback, debt switch dan konversi pinjaman.
“Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukannya strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan,” tambahnya.
Masyita mengatakan, menghadapi pandemi ini, seluruh negara mengalami tekanan dari sisi penerimaan karena kondisi ekonomi maupun insentif perpajakan yang diberikan.
Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang sempat stagnan (standstill) karena PSBB. Pembatasan fisik menyebabkan aktifitas ekonomi berkurang sehingga pengeluaran fiskal menjadi elemen penting penggerak perekonomian.
Fokus Pemerintah Indonesia ada 3 yakni mengatasi pandemi dan kesehatan, perlindungan sosial dan dukungan terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor padat tenaga kerja. Langkah-langkah Pemerintah ini dinilai berhasil oleh para investor.
Baca Juga :