Hasil Rapid Tes Covid Tidak Akurat Timbulkan Beban Psikososial, Apa Solusinya?

JC Gellidon
JC Gellidon (Foto : )
Pemeriksaan rapid tes Covid-19 yang tidak akurat menimbulkan beban psikososial bagi seseorang, bagaimana solusinya?
Rapid test digunakan untuk mengetahui status Covid-19 seseorang, disaat terbatasnya fasilitas tes PCR untuk mengetahui diagnosa Covid-19.Walapun sebenarnya tidak direkomendasikan WHO, pemerintah hingga saat ini, belum tegas mengenai penetapan status orang dengan hasil rapid test reaktif.Pemerintah tidak mewajibkan orang dengan hasil rapid test reaktif untuk melakukan tes PCR ataupun memfasilitasi mereka untuk test PCR, dan  memilih mewajibkan seseorang dengan hasil rapid test reaktif (diduga orang yang dites terpapar virus corona) untuk isolasi mandiri 14 hari.Sementara untuk orang dengan hasil non-reaktif, pemerintah memperpanjang masa berlaku rapid test dari 7 hari hingga 14 hariKarena tingkat akurasi tes cepat masih rendah, banyak anggota masyarakat yang menjadi tidak percaya pada tes cepat sebagai alat skrining. Khawatir akan beban psikososial dan finansial dari hasil tes cepat yang tidak bisa 100% dipercaya, banyak orang, termasuk tenaga kesehatan, memilih untuk menghindari skrining Covid-19 sama sekali.Seperti dilansir theconversation , karena tingkat akurasi yang tidak 100%, rapid test seharusnya hanya digunakan untuk skrining awal dan harus diikuti dengan test PCR.Ragam reaksi dari peserta rapid test massal tidak mengejutkan mengingat betapa beratnya stigma yang melekat pada pasien Covid-19. Salah satu peserta dengan hasil reaktif harus rela berpindah dari tempat tinggalnya karena tidak lagi diterima walau hasil swab PCR nya terbukti negatif. Pada beberapa peserta, kewajiban isolasi mandiri juga berdampak pada penghasilan harian mereka.Jika tes massal dilakukan pada tenaga kesehatan, hasil positif palsu berpotensi mengganggu jalannya pelayanan kesehatan karena petugas yang reaktif diharuskan melakukan isolasi mandiri. Hal tersebut membuat banyak orang menolak pelaksanaan rapid test massal..Lalu bagaimana solusinya?Saat ini, kebijakan Kementerian Kesehatan mewajibkan orang dengan hasil rapid test reaktif atau diduga pernah terpapar virus corona untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Mereka juga dianjurkan untuk melakukan tes swab PCR dalam rangka mengkonfirmasi diagnosis.Pada hasil rapid test positif atau reaktif, sebaiknya pasien tidak perlu mengisolasi diri selama 14 hari, tapi diwajibkan untuk memperketat protokol kesehatan sembari dimonitor ketaatan serta gejalanya.Pasien juga harus difasilitasi untuk melakukan tes PCR untuk mengkonfirmasi hasil secepatnya. Saat ini, pemerintah menganjurkan pasien reaktif tes cepat untuk melakukan tes swab PCR dalam rangka mengkonfirmasi diagnosis. Kalau tenaga kesehatan, rata-rata difasilitasi Dinas Kesehatan. Tapi untuk masyarakat, mayoritas masih harus bayar sendiri.Sebaliknya, pasien dengan hasil rapid test non-reaktif juga sebaiknya tetap tidak dianjurkan untuk melakukan perjalanan sebelum ada konfirmasi PCR. Berarti sebenarnya pemerintah harus menyediakan tes PCR untuk reaktif maupun nonreaktif.Dengan adanya penyesuaian kebijakan tersebut, diharapkan kewaspadaan masyarakat terhadap Covid-19 tetap terjaga tanpa memperburuk stigma baik pada rapid test maupun pada populasi rentan.