Sepur Kluthuk sangat populer pada masanya. Menggunakan mekanik khusus, kereta tua ini mampu menaklukkan tanjakan Kabupaten Semarang. Kini, moda transportasi ini sudah beralih fungsi menjadi kereta wisata meski rutenya masih sama. Penasaran menjajal stamina kereta tua ini di tanjakan?
Tuuuiiittt ...! Tuuuiiittt ...!
Suara melengking panjang memecah langit Ambarawa. Desis mesin tua yang terengah-engah menyertai suara hantaman palu roda kereta yang bergerak mencipta irama.
Jam menunjukkan pukul 06.30 WIB. Sepagi ini kesibukan di depo atau bengkel kereta api tua Ambarawa sudah menggeliat. Para montir nampak belepotan oli hitam.
Beberapa bagian harus dikencangkan. Ketel uap harus dipanaskan dengan bara berbahan kayu jati. Peluit mesti dicoba untuk memastikan fungsinya. Sementara petugas lain membersihkan kursi dan bodi kereta penumpang.
[caption id="attachment_373101" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Memang harus sepagi itu menyiapkan kereta tua di depo Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang. Karena kereta berumur lebih dari satu abad ini akan dipakai pada jam 08.00 WIB.
Pada jaman itu, antara 1890 hingga 1940-an kereta bermesin uap yang sekarang menghuni Museum Kereta Ambarawa, dipakai untuk mengangkut keperluan dagang maupun militer Hindia Belanda. Orang Jawa menyebutnya "Sepur Kluthuk" karena suara mesin dan rodanya yang mengeluarkan bunyi kluthuk-kluthuk. Kereta ini diimpor langsung dari Eropa melalui pelabuhan Semarang.
Sekarang meski sebagian besar lokomotif sudah dimuseumkan, namun ada yang masih bisa dijalankan. Seperti yang disiapkan para petugas depo tadi. "Harus terus dirawat, namanya juga barang tua, dan banyak orderdil yang sulit didapat. Ya kita akali dengan membuat pakai mesin bubut," kata salah satu petugas bengkel. Fungsi kereta kini sudah tak lagi untuk angkut penumpang reguler, tapi untuk kereta wisata. Hanya saja, untuk naik kereta tua harus borongan atau sewa. Waktu itu sekitar tahun 2018 sekali jalan biayanya Rp15 juta yang bisa memuat 80 penumpang. Kalau sekarang sudah naik menjadi Rp18 juta. Jalur rutenya ada dua. Ambarawa - Tuntang dan Ambarawa - Bedono. Ada 3 Loko tua yang masih bisa jalan. Salah satunya serie B 2503 yang diproduksi tahun 1890. Saya beberapa kali mencoba naik sepur kluthuk buatan Maschinenfabrik Esslingen Jerman ini. Salah satunya saat uji coba beberapa waktu lalu di jalur tanjakan Ambarawa - Bedono setelah loko tua berwarna hitam legam itu diservis ulang. Lokomotif menarik dua kereta penumpang yang terbuat dari kayu jati seluruhnya, seperti bodi, dinding, lantai, kursi serta pintu dan jendela. [caption id="attachment_373103" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Sebelum berangkat, masinis dibantu petugas depo lebih dulu memanaskan ketel uap di bagian depan lokomotif. Ketel berisi air, yang di bawahnya terdapat tungku untuk membakar kayu jati. Setelah airnya mendidih akan menimbulkan tekanan yang bisa menggerakkan mesin dan roda lokomotif. [caption id="attachment_373104" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Kayu bakarnya harus kayu jati? Ya! "Harus kayu jati, karana panasnya paling awet, dan yang dipakai terutama bagian akar yang lebih padat tapi juga lebih murah," kata petugas depo. [caption id="attachment_373105" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Sepur berjalan pelan dari depo ke peron Stasiun Ambarawa. Penumpang yang sebagian besar pegawai kereta api naik memenuhi kereta. Memang dibuat penuh seluruh kursinya untuk menguji seberapa kuat tenaga sepur kluthuk tua ini. Kereta melanjutkan perjalanan menyusuri perkampungan di tepian rel. Warga pada keluar rumah untuk melihat. Maklum sudah lama kereta ini dikandangkan untuk diperbaiki. Dan sekarang mulai melintas lagi. Tontonan gratis pagi itu. Setelah dua puluh menit, kereta melintasi rel di tengah hamparan sawah yang cukup luas. Di sisi kanan ada bangunan tua yang rupanya adalah Stasiun Jambu. Sebagai informasi, stasiun ini pernah digunakan syuting video klip Katon Bagaskara dalam lagu Negeri di Awan. Ini yang unik! Kereta kemudian berhenti sebentar. Lokomotif dilepas dan kemudian beralih di belakang kereta. Inilah sesi perjalanan yang mendebarkan. Loko akan mendorong rangkaian kereta di jalur tanjakan. Memang begitu caranya kereta kuno melahap tanjakan yang cukup tinggi. [caption id="attachment_373098" align="alignnone" width="900"] Jalur tanjakan punya rel yang dirancang khusus agar lokomotif mampu "memanjat" Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Mula-mula loko mendorong pelan. Lalu mulai menambah kecepatan. Agak ada perubahan getaran yang saya rasakan ketika kereta tua ini masuk ke bagian rel yang bergerigi. Inilah ciri khas kereta api jaman dulu agar kuat melalu medan berat. Jalur Jambu - Bedono memang melewati perbukitan. Rel bergerigi terhubung dengan bagian roda kereta yang bergerigi pula. Jadi, gerigi roda masuk ke lubang gerigi rel. Ibaratnya ada tempat panjatan. Namun karena ini kereta baru saja servis, maka di tanjakan awal sudah ngos-ngosan. Sempat mogok pula karena kekurangan air. Petugas cepat masuk ke saluran irigasi di samping jalur rel. Dengan mesin penyedot mereka cekatan memindahkan air dari saluran irigasi ke dalam ketel kereta. Aman. Kereta melaju lagi pelan. Namun melambat saat melewati tanjakan paling ekstrim. Saking lambatnya bahkan saat saya dan beberapa penumpang turun untuk mengurangi beban, laju kereta kalah cepat dari laju jalan kaki. Sempat khawatir juga kalau-kalau kereta melorot ke bawah. Namun dalam kondisi kembang kempis, kereta masih kuat melaju sampai ujung tanjakan. Dan selanjutnya, medan lebih moderat sampai di Stasiun Bedono. "Bedono ini stasiun paling ujung. Sebenarnya dulu bisa sampai Magelang, tapi jalur rel sekarang tidak memungkinkan dilewati, karena ada yang tertutup tanah, jembatannya rusak, dan lain-lain," kata salah satu petugas sambil mengisi ulang ketel dengan air. Total perjalanan sampai ke Stasiun Bedono memakan waktu 1,5 jam, menempuh jarak 11 kilometer. Dari stasiun ini kereta kembali meluncur ke bawah menuju ke kandang semula yaitu Stasiun Ambarawa. Anda penasaran? Teguh Joko Sutrisno | Kabupaten Semarang, Jawa Tengah