Pesan Pak Jakob, Kompas dan Providentia Dei

Pesan Pak Jakob, Kompas dan Providentia Dei
Pesan Pak Jakob, Kompas dan Providentia Dei (Foto : )
Jakob Oetama menegaskan bahwa Kompas dihadirkan sebagai sarana perjuangan; perjuangan menegakkan kehidupan yang demokratis, sekaligus menjadi “rumah” kehidupan bagi jutaan orang. Kompas lahir untuk membangun sebuah Indonesia yang toleran. 

Mas, semua ini adalah providentia Dei. Penyelenggaraan Allah. Bahkan Kompas bisa menjadi seperti sekarang ini, harus kita syukuri.

Saya seorang wartawan, bukan pengusaha. Saya pernah menjadi guru, dan sampai sekarang tetap seorang guru. Mas tahu kan, dalam providentia Dei ada pemeliharaan, ada perlindungan, ada penyertaan, dan jangan lupa ada campur tangan. Ya, campur tangan Tuhan. Itulah providentia Dei. Dan, Kompas bisa menjadi seperti sekarang ini karena providentia Dei.

Kalimat-kalimat itu seperti berdengung kembali di telinga, begitu mendengar berita Rabu siang, bahwa Pak Jakob Oetama, telah dipanggil Tuhan.  Selesai sudah perziarahan Pak Jakob di dunia ini. Tetapi, warisan yang ditinggalkan tak akan pernah hilang ditelan waktu.

Dalam berbagai kesempatan, entah itu rapat redaksi pagi hari atau pertemuan-pertemuan lainnya, Pak Jakob selalu mengingatkan kami semua agar selalu bersyukur atas providentia Dei itu. Dalam pemahaman Pak Jakob, providentia Dei itu mencakup banyak hal, bahkan segala sesuatu. Baik itu peristiwa yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, peristiwa baik maupun buruk. Sebab, peristiwa tidak menyenangkan, peristiwa buruk dalam providentia Dei akan mendatangkan kebaikan,  juga memberikan pelajaran yang sangat berarti.

Itu juga berarti bahwa cakupan providentia Dei itu bukan hanya dalam kecukupan materi melainkan juga dalam kekurangan materi, bukan hanya dalam kondisi sehat melainkan juga dalam kondisi sakit. Kelahiran Kompas pun adalah providential Dei.

Suatu ketika, Pak Jakob mengatakan, siapa yang pernah menduga bahwa koran yang didirikan pada tahun 1965 menjadi seperti sekarang ini. Dalam keyakinan Pak Jakob, Kompas dihadirkan dalam providentia Dei sebagai sarana perjuangan; perjuangan menegakkan kehidupan yang demokratis, sekaligus menjadi “rumah” kehidupan bagi jutaan orang. Kompas lahir untuk membangun sebuah Indonesia, Indonesia yang toleran, Indonesia yang bangsanya menyadari, memahami, dan menerima kemajemukan. “Kita membangun Indonesia mini,” katanya  suatu ketika.

Lewat providentia Dei itulah Kompas dilahirkan untuk menjadi tempat bagi para wartawan yang memiliki semangat compassion,  memahami perasaan, bersimpati sekaligus memberi empati; yang tidak bersikap arrive; yang mau menjunjung tingginilai-nilai manusia dan kemanusiaan; yang berpihak pada kejujuran; yang menyuarakan yang tak mampu bersuara dan membela yang papa. Kompas juga dilahirkan untuk ikut serta menyediakan infrastruktur kebudayaan, tempat suatu masyarakat majemuk Indonesia berwacana serta bergumul mencari alternatif menuju ke arah pembaharuan bangsa.

Di dalam Kompas sebagai Indonesia mini, kata Pak Jakob, harus terbangun sebuah kebersamaan, toleransi atas dasar kemanusiaan, kemanusiaan yang beriman. humanisme transendental. Karena itu, suatu hal yang selalu ditekankan kepada seluruh “anak-anaknya” di kantor, to be religious today is to be inter-religious.

Suasana seperti itulah yang kemudian bertumbuh dan berkembang di Kompas. Ada suatu suasana, kondisi yang berbeda bisa saling menghargai, bahkan saling memperkaya menjadi sebuah keunikan yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain. Setiap bulan Puasa, misalnya, para wartawan Kompas setiap hari mengadakan buka puasa bersama di kantor, selama sebulan penuh.

Tentu bukan karena kebetulan semata bahwa suasana penuh persaudaraan, penuh toleransi, penuh kebersamaan, itu terbangun. Bahwa suasana seperti itu diinginkan semua wartawan dan karyawan Kompas, sudah pasti. Ada usaha untuk mewujudkan suasana seperti itu. Ya, sudah pasti. Bahkan harus! Semua harus berusaha mewujudkan apa yang dicita-citakan para founding fathers.

Tetapi, Pak Jakob selalu menekankan perlunya percaya pada providentia Dei. Kata Pak Jakob, itu jauh lebih baik dan jauh lebih sempurna dalam perjalanan hidup kita, karir-pekerjaan-profesi kita, keluarga kita bahkan dalam perjalanan bangsa.

Kini, providentia Dei itu diterima Pak Jakob. Ia telah kembali ke “Yang mengutusnya.” Dalam terang iman kristiani, kematian menjadi peristiwa penyerahan penuh dan utuh kepada Allah. Kata Rasul Paulus ”Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.”

Sugeng tindak, Pak Jakob.

Sumber: Pesan Pak Jakob oleh Trias Kuncahyono