Tontonan kaum kolonialis! Begitulah ungkapan sarkas jika boleh dikata, menyoal perilaku orang Eropa dan Amerika yang menganggap mereka yang bukan kulit putih adalah terbelakang, barbar dan menyedihkan. Mereka, termasuk orang Hindia Belanda (Indonesia) dipertontonkan di World’s Columbian Exposition 1893, Chicago.
Gelaran World’s Columbian Exposition 1893 dihelat untuk merayakan peringatan 400 tahun kedatangan Christopher Columbus di Dunia Baru pada tahun 1492.
Keren perhelatannya! Namun justru di sinilah titik terendah orang Eropa memandang ras lain dari belahan dunia lain terutama negara-negara jajahan mereka.
Zahra Amalia dalam akun Twitternya @zahraamalias menggambarkannya begini, Chicago adalah kota yang sangat rata. Tapi, di belakang kampusku di University of Chicago ada taman luas yang permukaan tanahnya lebih rendah dari jalan di sekitarnya. Namanya Midway Plaisance. Ini adalah “titik terrendah” di kota dan tempat World’s Columbian Expo 1893 berdiri.
Ya, terendah!
Ada sekira 125 orang Hindia Belanda dari Jawa yang dibawa ke Chicago. Mereka diikutkan dalam World's Columbian Exposition 1893. Pameran budaya lokal negeri jajahan. Mereka unjuk kebolehan menari, menabuh gamelan, menenun hingga mengolah teh maupun kopi.
Mereka menjadi tontonan orang kulit putih. Human Zoo! Begitulah saat orang tanah jajahan dipamerkan ke muka kolonialis barat.
[caption id="attachment_365587" align="alignnone" width="680"] Enam orang dari 125 orang Indonesia yang dibawa kolianis Hindia Belanda ke Chicago. Foto: Twitter @potretlawas diolah warna oleh @colorifier[/caption]
Akun Twitter @potretlawas menulis, ada catatan samping amat berharga tentang rombongan Chicago ini ditulis Prof. Wilbur Olin Atwater. Sepengamatan Atwater mereka (orang-orang Hindia Belanda) kadung dipandang remeh – objek aneh dari belahan bumi yang lain. Terbelakang dibanding dunia orang kulit putih yang (merasa) serba beradab.
[caption id="attachment_365590" align="alignnone" width="582"] Foto: Twitter @potretlawas[/caption]
Akun Twitter @potretlawas menuliskan mereka tidak dibayar selama di Amerika. Eliza Scidmore yang datang ke Sinagar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi tahun 1897 menuliskan dalam catatannya, tidak ada bayaran apapun yang diterima orang-orang Hindia Belanda ini saat di Amerika. Sejak awal, dikatakan perjalanan ke Chicago itu adalah hadiah karena mereka sudah rajin bekerja.
Di sinilah orang-orang desa di Indonesia menceritakan pengalaman tak terlupa di Amerika: Mereka pertama kali melihat orang kulit putih melakukan kerja kasar, kerja kuli seperti mereka.
Usai gala pertontonkan orang ini, seluruh barang bawaan yang dipamerkan dijual. Orang-orangnya pulang tanpa kargo lagi. Seperangkat gamelan dari Parakansalak, Sukabumi yang selalu mengiringi pertunjukan kini berada dalam simpanan Field Museum Chicago.
[caption id="attachment_365582" align="alignnone" width="900"] Foto: Twitter @potretlawas[/caption]
Kembali ke orang-orang Hindia Belanda yang dipertontonkan. Mereka kebanyakan pekerja perkebunan Parakansalak dan Sinagar, Sukabumi. Puluhan lainnya berasal dari daerah lain.
Mereka meninggalkan Betawi (via pelabuhan Priok) pada 14 Februari 1893. Selama 5 pekan mereka berkapal menuju Hongkong kemudian melanjutkan ke San Fransisco.
Dari San Fransisco mereka bersepur ke Chicago. Rombongan baru sampai Chicago minggu keempat bulan Maret 1893.
Tugas pertama mereka adalah membangun Java Village di Chicago sebelum 1 Mei 1893 saat acara mulai. Namun target gagal dipenuhi. Java Village baru diresmikan dua bulan kemudian, 26 Juni 1893.
[caption id="attachment_365593" align="alignnone" width="700"] Java Village di Chicago tahun 1893. Foto: Twitter @potretlawas[/caption]
Java Village hampir sehektar luasnya. Di sini dibangun 36 rumah bambu aneka ukuran. Ada rumah tinggal, lumbung, masjid yang melaungkan azan 5 kali sehari, gardu ronda, hingga balai pertunjukan seni. Di sanalah mereka tinggal dan beraktivitas, selagi ratusan pengunjung datang melihat setiap hari.
Dalam pamflet Java Village (baca di sini: The Java Village, Midway Plaisance, World's Colombian Exposition) disebutkan seekor orangutan turut dipamerkan. Juga dua bayi yang lahir di sana jadi tontonan. Pun, "the real Java coffee and tea" jadi suguhan – ingat, pembiaya rombongan ini duo planter Priangan: Gustav Mundt dan EJ Kerkhoven.
Eksebisi ini berlangsung hingga akhir Oktober 1893. Seluruh isi Java Village lalu dibeli pebisnis Marshall Field. Sebagian dikoleksi Field Museum, sebagian dijual ke lembaga lain. Ada 4 orang yang meninggal dunia di sana.
Masa kekinian, bagaimana dengan warga kota yang berkunjung ke Baduy?
Sumber: Twitter @potretlawas
Baca Juga :