Palagan Ambarawa adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang terjadi di Ambarawa, sebelah selatan Semarang, Jawa Tengah. Gambaran singkat pertempuran yang bikin muka Sekutu merah padam, tergambar di relief monumennya.
Brigadir Bethell asal Inggris, pada 20 Oktober 1945 memimpin tentara sekutu mendarat di Semarang untuk mengurus tawanan perang dan tentara Jepang usai Perang Dunia II. Sebagian besar tawanan perang berada di Magelang.
Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah, Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedangkan Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun rupanya Belanda masih belum menerima jika Indonesia merdeka sebagaimana telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Mereka menyusup atau istilahnya membonceng ke pasukan sekutu dengan memakai atribut NICA (Netherlands Indies Civiele Administration), sebuah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, semacam organisasi semi militer yang dibentuk pada 3 April 1944.
NICA bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda selepas kapitulasi pasukan pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda (sekarang Indonesia) seusai Perang Dunia II.
Cuplikan cerita awal pemicu perang besar di Ambarawa itu sering saya dapatkan saat sekolah dulu, dari SD sampai SMA. Sangat heroik. Maka beberapa waktu, saat perjalanan dari Semarang menuju Jogja, saya sengaja mampir ke Museum Palagan Ambarawa.
[caption id="attachment_362660" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Palagan Ambarawa adalah titik pertempuran sengit pejuang Indonesia melawan sekutu plus NICA. Lokasinya persis di tepi jalan raya nasional Semarang-Jogja.
Setelah beli tiket, saya pun berkeliling didampingi petugas yang sekaligus jadi pemandu wisata. Dan cerita pertempuran Ambarawa pun meluncur.
[caption id="attachment_362662" align="alignnone" width="900"]
Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
"Jadi, insiden pertempuran antara TKR/BKR melawan sekutu dan NICA terjadi antara 26 Nopember sampai 15 Desember 1945, namun serangan umum besar-besaran dilakukan dari 12 hingga 15 Desember 1945. Yang memimpin waktu Pak Dirman," tutur Sudirin, petugas sekaligus pemandu di Museum Palagan Ambarawa.
Ia kemudian menunjukkan beberapa koleksi yang masih disimpan. Antara senapan otomatis, brent, mortir, granat, meriam, hingga bambu runcing yang dulu dipakai TKR untuk bertempur.
[caption id="attachment_362663" align="alignnone" width="900"] Pesawat mustang cocor merah milik sekutu yang ditembak jatuh. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
"Kalau yang di luar itu ada pesawat mustang atau cocor merah yang dipakai sekutu untuk menembaki pasukan Indonesia. Salah satu pesawatnya berhasil ditembak jatuh dan sampai sekarang ada di dasar Rawa Pening," jelasnya.
Dari literatur yang saya dapatkan, termuat bahwa pada saat itu, awal kedatangan sekutu yang baik yaitu untuk mengurus tawanan perang, tentu disambut baik pula oleh Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Mr. Wongsonegoro. Bahkan dibantu penyediaan logistik untuk keperluan tugas pasukan sekutu mengurus tawanan perang.
Tapi ya namanya masih dalam situasi paska perang, hasrat berkuasa kembali tetap ada. Tentara NICA yang membonceng sekutu malah mempersenjatai tawanan perang. Ada udang dibalik batu. Sifat asli mereka pun muncul. Sok berkuasa, mereka bahkan melucuti senjata anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Indonesia yang baru saja terbentuk.
Ibarat nggugah macan turu (membangunkan macam tidur), pihak republik pun melawan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol M.Sarbini langsung mengepung tentara sekutu dan NICA.
Kedok sekutu dan NICA sudah terbuka. pertempuran sengit pun pecah. Tentara sekutu dan NICA terdesak dan mundur ke arah Ambarawa. Namun di daerah Jambu atau sekitar 5 kilometer sebelum Ambarawa, pasukan Republik bantuan dari Ambarawa dan Surakarta menghadang.
Terkepung dari mana-mana, pasukan sekutu dan NICA menyerbu dan menguasai dua desa. TKR pimpinan Letkol Isdiman berupaya membebaskan kedua desa itu. Pasukan sekutu mendatangkan pesawat tempur dari Semarang dan menembaki dari udara. Letkol Isdiman gugur.
[caption id="attachment_362665" align="alignnone" width="900"] Tentara republik berjuang sampai titik darah penghabisan mengusir Sekutu, NICA, Belanda dan Jepang. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
"Titik gugurnya ya di sini, yang sekarang dibuat Museum Isdiman di komplek Palagan Ambarawa," tambah Sudirin.
Kabar gugurnya Letkol Isdiman diterima Komandan Divisi V Banyumas, Kolonel Soedirman (kelak pertempuran Ambarawa ini menjadi salah satu poin penting yang mengantar Soedirman jadi Panglima Besar).
Sudirman langsung bergabung dan menambah energi pasukan Republik. Komando sekarang ada di Kolonel Soedirman. Pasukan bantuan datang dari Solo, Salatiga, Purwokerto, Yogyakarta, Magelang, dan beberapa daerah lain.
Pada 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, atau hampir dua bulan sejak tentara sekutu dan NICA mendarat, pecah perang paling besar di Ambarawa.
"Kolonel Soedirman menggelar taktik supit urang, dengan mengepung lawan dari dua sisi serta menggempur dari tengah," cerita Sudirin lagi.
[caption id="attachment_362664" align="alignnone" width="900"] Relief menggambarkan tentara Jepang yang dipersenjatai turut bertempur. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]
Pasukan sekutu yang kelabakan sempat menambah energi dengan membebaskan tawanan Jepang dan diberi senjata untuk membantu pertempuran.
Empat hari pertempuran berlangsung sengit dengan masing-masing mengerahkan semua potensi kekuatan.
Sampai kemudian pada tanggal 15 Desember 1945, Sekutu dan NICA terdesak, dan mundur kalang kabut menanggung malu ke arah Semarang. Ambarawa mutlak berada dalam genggaman pasukan TKR Indonesia.
"Maka pada tanggal itulah kemudian dijadikan sebagai hari jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika," pungkasnya.
Sebagai penanda, maka titik dimana Letkol Isdiman gugur dibuat monumen yang dikenal dengan Monumen Palagan Ambarawa.
Teguh Joko Sutrisno | Ambarawa, Jawa Tengah
Baca Juga :