Di gang ini dulu bule perlente Eropa memarkirkan kuda dan keretanya. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]"Iya memang di depan gedung itu dulu ada jalan dimana orang-orang Eropa di Semarang datang naik kuda atau kereta yang ditarik kuda. Itu sekarang di depan gedung kan ada semacam kanopi yang dulu dijadikan tempat naik turun penumpang kereta kuda. Kalau ada sebutan Gang Tai itu ya mungkin ya, kan memang kalau ada kuda yang banyak ya pasti buang kotoran di situ," kata Cahyono (70) seorang pengamat sejarah Kota Lama Semarang.Aslinya dulu, gedung pertunuukkan itu diberi nama Gedung Schouwburg. Dalam bahasa Belanda, Schouwburg berarti gedung pertunjukan atau teater."Kalau gedung yang sekarang disebut Marabunta itu sebenarnya adalah sisa bangunan saja yang kemudian sebagian reruntuhannya direnovasi dengan memakai material lama dan ditambah material baru. Kalau gedung yang asli yang disebut Schouwburg itu sudah hancur karena lapuk dan diterjang rob, dan sekarang banyak ditumbuhi pohon dan semak-semak," tambah Cahyono.[caption id="attachment_361686" align="alignnone" width="900"]
Gedung Marabunta yang berdiri di sebagian eks gedung schwouburg. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]Hal itu diamini pengamat sejarah Kota Semarang lainnya, Yongki Tio. Ia mencoba meluruskan perihal Gedung Marabunta."Banyak yang salah mengerti, bahwa gedung yang sekarang berdiri dan disebut Marabunta itu adalah gedung pertunjukkan Schouwburg yang dulu. Bukan, yang asli sudah hancur, dan bangunan yang sekarang berdiri memang sebagian memakai material lama, seperti pilar, dan sebagian atapnya," kata pria 79 tahun ini.[caption id="attachment_361687" align="alignnone" width="900"]
Patung semut raksasa menjadi ciri khas gefung Marabunta. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]Saat ada Festival Kota Lama di Semarang yang digelar setahun sekali, gedung ini sering dikupas di literatur dan dibahas dalam acara diskusi. Di situ terungkap kalau jaman Belanda dulu, seni yang sering ditampilkan di Gedung Schouwburg adalah tari balet dan Stamboel, yaitu sandiwara keliling khas Eropa yang kemudian diadopsi di Hindia Belanda.Saat itu memang balet sangat disukai bahkan sampai ada penari pujaan. Sedangkan sandiwara komedi juga sangat disukai dan malah lebih sering. Sampai-sampai jalan di depan gedung ini pun diberi nama Komedistraat."Ya kan komedi itu memang selalu disuka di jaman apapun, termasuk jaman Belanda mengusai Nusantara, makanya di Kota Lama waktu itu komedi sering dipentaskan di Gedung Schwouburg," tambahnya.Sebutan Marabunta sendiri muncul setelah bangunan ini dikelola PT. Marabunta untuk bisnis ekspedisi.[caption id="attachment_361690" align="alignnone" width="900"] Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption]Ceritanya, pasca Perang Dunia II, Gedung Schouwburg jadi tak terurus. Setelah Belanda hengkang, Gedung Schouwburg menjadi milik Indonesia dan hak kelolanya kemudian diberikan ke sebuah badan usaha dengan unit usahanya ekspedisi muatan kapal laut atau EMKL bernama Marabunta.Tampilan Gedung Marabunta saat ini sangat mencolok dan beda dengan bangunan lainnya di kawasan Kota Lama Semarang. Jika pengendara lewat dari arah Stasiun Tawang menuju pusat Kota Lama, akan melewati Gedung Marabunta.[caption id="attachment_361689" align="alignnone" width="900"]
Baca Juga :