Remaja dan anak harus menghadapi pembatasan sosial saat pandemi COVID-19. Mereka membutukan perlindungan kesehatan jiwa saat pembatasan akses tersebut.
Pandemi COVID-19 telah berdampak pada sebagian besar aktivitas masyarakat termasuk pada kelompok terkecil yaitu keluarga dan anak. Perubahan pada aktivitas sehari-hari bagi anak dan remaja ini tidak hanya berdampak pada aspek fisik mereka saja, namun juga pada aspek kesehatan jiwa karena perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang cukup cepat.Pemerhati Kesehatan Jiwa Anak UNICEF, Ali Aulia Ramly mengatakan bahwa salah satu dampak dari pandemi pada anak dan remaja adalah adanya pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah untuk mencegah potensi penularan virus COVID-19. Pembatasan sosial ini membuat muncul rasa takut yang berlebihan pada anak dan remaja karena banyaknya informasi yang mereka terima tentang pandemi ini.Selain itu, pembatasan sosial juga membuat anak dan remaja merasa bosan karena harus berdiam diri di rumah dan tidak bisa berinteraksi dengan teman-temannya.“Tentu saja kebosanan terjadi ketika mereka harus berada di rumah dengan waktu yang sangat lama. Tidak bisa bertemu teman-temannya ini merupakan sejumlah dampak yang wajar dan banyak terjadi pada anak.kita harap begitu banyak anak akan bisa pulih dan melihat kembali bagaimana mereka tidak terganggu situasinya dalam keadaan ini, ” ujar Aulia saat dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Senin (20/7/2020).
Pada kesempatan yang sama, Dr.dr.Fidiansjah, SpKJ., MPH selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan juga turut memaparkan data dari Wahana Visi Indonesia tentang Studi Penilaian Cepat Dampak COVID-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia sebagai pendukung pernyataan dari Aulia.Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketidakmerataan akses terhadap fasilitas pendukung untuk pembelajaran daring maupun luring yang dialami pada anak yang sudah masuk usia sekolah. Sebanyak 68 persen anak dapat mengakses terhadap fasilitas pendukung selama masa pembelajaran namun juga terdapat 32 persen anak bahkan tidak mendapatkan program belajar dalam bentuk apapun."Dampaknya anak harus mempunyai sistem belajar sendiri dan dampaknya 37 persen anak tidak bisa mengatur waktu belajar, lalu 30 persen anak kesulitan memahami pelajaran, bahkan 21 persen anak tidak memahami instruksi guru," jelas Fidiansyah.Tidak dapat dipungkiri, pandemi ini juga dapat berdampak kepada aspek psikososial dari anak dan remaja di antaranya adalah perasaan bosan karena harus tinggal di rumah, khawatir tertinggal pelajaran, timbul perasaan tidak aman, merasa takut karena terkena penyakit, merindukan teman-teman, dan khawatir tentang penghasilan orangtua. Dampak paling membahayakan adalah sebanyak 62 persen anak mengalami kekerasan verbal oleh orang tuanya selama berada di rumah.
Remaja dan anak harus belajar mandiri
Kekerasan verbal pada anak meningkat
Baca Juga :