Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra angkat bicara soal putusan Mahkamah Agung atau MA atas gugatan sengketa pilpres yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri.
Rachmawati Soekarnoputri diputuskan menang melawan Komisi Pemilihan Umum di MA terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.Putusan MA sudah diketok pada 20 Oktober 2019 dan baru dipublikasikan pekan ini.Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, dalam keterangan tertulisnya menegaskan, putusan MA itu tidak ada kaitannya dengan hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden. Karena itu Yusril menganggap, putusan MA itu dipelintir semaunya."Dalam putusan itu, MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019," kata Yusril.Menurutnya, menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena hal itu menjadi kewenangannya. Sementara MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa pilpres.Dikatakan, putusan MK itu final dan mengikat. Dalam menetapkan kemenangan Jokowi dan Ma'ruf Amin, KPU merujuk pada putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo dan Sandiaga Uno."Lagi pula putusan uji materil itu diambil oleh MA tanggal 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kiyai Ma'ruf dilantik oleh MPR. Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang," katanya.Yusril menegaskan, aturan Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu.Ketentuan Pasal 7 ayat 3 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dua pasangan.Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri."Kalau pasangan calon hanya dua dan harus diulang-ulang terus agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah, maka pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir.""Sementara masa jabatan presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR. Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini," katanya lagi.Karena itu, Yusril menegaskan, jika pasangan calon pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara adalah pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya.
Baca Juga :