Problem Islamophobia dan Solusinya di Eropa

Problem Islamophobia dan Solusinya di Eropa (Foto theguardian.com)
Problem Islamophobia dan Solusinya di Eropa (Foto theguardian.com) (Foto : )
Ternyata di Benua Eropa yang konon maju dan berbudaya, banyak terjadi kisah-kisah “seram”. Seorang muslimah berhijab dihadang di jalan gelap, dimaki-maki dengan ujaran rasis dan anti-Islam, bahkan hampir saja diperkosa.
Seorang anggota polisi mem-posting "ancaman ISIS" palsu untuk memperbesar kebencian terhadap Islam. Ada juga kisah anak sekolah yang di-bully hanya karena menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Juga tentang politisi populis membakar Al Qur'an dan mengeluarkan ancaman untuk mengusir kaum muslimin dari Eropa. Semua cerita ini didokumentasikan lengkap dalam laporan tahunan tentang insiden Islamophobia di Eropa. Sejatinya, Islamophobia merupakan akar dari tindakan-tindakan pelanggaran HAM, kezaliman, penghinaan, pelecehan dan gangguan pada warga muslim di Eropa. Sungguh ironis, Eropa yang selalu berkhutbah pada seluruh dunia tentang nilai-nilai demokrasi, kebebasan, toleransi, perlindungan dan penghormatan HAM justru tersandung oleh fenomena Islamophobia ini yang hingga hari ini masih terus terjadi dan entah kapan akan berakhir. Isu ini pun menarik untuk dibahas karena Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia berkepentingan untuk membangun harmoni antar agama dan antar peradaban serta untuk meluruskan salah pengertian tentang Islam, yang sebenarnya adalah agama yang rahmatan lil alamin. Selain sejarah panjang persinggungan Eropa dan Islam, tulisan ini juga akan mengulas solusi konkrit bagi fenomena Islamophobia di Eropa.

Umat Islam di Eropa

Sesuai data The Economist, jumlah populasi muslim di Eropa (tidak termasuk Turki dan Rusia) sekitar 26 juta jiwa pada 2019. Tidak semua warga muslim adalah imigran atau pendatang. Sebagian justru orang asli Eropa yang beragama Islam seperti halnya di BosniaHerzegovina, Kosovo dan Albania. Para imigran muslim didatangkan oleh negara-negara Eropa Barat terutama pasca Perang Dunia II untuk membantu rekonstruksi Eropa yang hancur akibat Perang. Setelah menetap lebih dari 3 generasi di Eropa, warga muslim menjelma menjadi warga Eropa, tidak lagi memandang dirinya sebagai "imigran" tetapi "warga negara". Sesungguhnya, terdapat tingkat keragaman yang tinggi pada komunitas muslim Eropa. Mereka saling berbeda negara asal, etnik, kultur, sekte, mazhab, ideologi, dan bahkan gerakan politik. Di Inggris, warga muslim umumnya berasal dari Pakistan dan Bangladesh. Di Perancis, mereka datang dari Aljazair, Tunisia dan Maroko. Sementara di Jerman, banyak warga Turki beremigrasi ke negara itu. Selain perbedaan Sunni, Syi'ah dan Ahmadiyah, warga muslim pun mengikuti ideologi dan gerakan politik yang saling berbeda seperti Muslim Brotherhood, Salafi, Deobandis3 dan gerakan Milli Gorus4 (National Vision) dari Turki. Dari sisi sosial-ekonomi, sering diwartakan kondisi warga muslim yang "miskin" (poor) dan "terpecah-belah" (divided). Media menampilkan bayangan tentang kawasan-kawasan kumuh seperti Molenbeek di Brussels atau berbagai banlieues di pinggiran kota Paris dimana sekitar 25-30 % pemuda muslim menganggur, kehilangan harapan, terperangkap dalam kriminalitas, perdagangan narkoba serta rentan akan ajakan jihad oleh para imam garis keras di mesjid-mesjid radikal di kawasan suram tersebut. Namun demikian, kehidupan suram di Molenbeek dan berbagai banlieues di pinggiran Paris bukanlah fitur utama kondisi umat Islam di Eropa. Karena sejatinya komunitas muslim di Eropa kebanyakan bersikap moderat, cukup berpendidikan, berpenghasilan cukup baik dan terus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan gaya hidup di negara-negara tempat mereka tinggal. Gambaran positif ini tampil dalam laporan khusus majalah the Economist (16 Februari 2019) berjudul "Islam in the West. Here to Stay". Eropa sejatinya adalah "land of opportunity" --- tanah harapan bagi siapa pun yang mau berusaha, mau belajar dan sanggup bekerja keras, termasuk bagi warga muslim di benua ini. Oleh karena itu, banyak kita saksikan warga muslim yang berhasil dalam karir mereka, seperti Rachida Dati (Menteri Hukum Perancis 2007-09, saat ini anggota Parlemen Eropa), Baroness Sayeeda Warsi (Menteri Kabinet Inggris), Wali Kota London Sadiq Khan atau wali kota Rotterdam Ahmed Aboutaleb. Selama saya bertugas di Belgia, kerap saya bertemu dengan orang-orang hebat dan sukses yakni para pengusaha, politisi, artis, atlit dan juga duta besar beberapa negara anggota UE berlatarbelakang muslim. Negara-negara anggota Uni Eropa condong bersikap pragmatis dalam pemenuhan kebutuhan mental-spiritual warga muslim di wilayah mereka. Negara-negara itu membiarkan pemerintah asing seperti Turki, Saudi Arabia, Maroko dan lainnya membangun mesjid, mengirim imam dan membentuk Islamic Center di berbagai negara UE. Rabithah al-Alam al-Islami (Muslim World League) yang berafiliasi ke Saudi, sangat agresif dengan dana besar membangun mesjid-mesjid agung di Eropa, menawarkan beasiswa untuk belajar di Universitas Islam Madinah dan mendanai proyek-proyek keagamaan untuk meneguhkan kepemimpinan Saudi di Dunia Islam. Kompetitor Rabithah adalah Diyanet Isleri Baskanligi (berafiliasi ke Turki) yang sama agresifnya menanamkan pengaruh di kalangan muslim Eropa keturunan Turki. Dewasa ini, aktivitas mesjid-mesjid dengan dana Saudi sering kena "kartu merah" karena menyebarkan faham ekstrim dan radikal yang membahayakan keamanan Eropa.

Problem Islamophobia

“Phobia” adalah kata Yunani yang bermakna "takut". Islamophobia mengacu pada ketakutan, kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan muslim. Biasanya sikap ini dipupuk melalui stereotyping. Para penderita phobia umumnya sulit menjelaskan apa sumber ketakutan mereka. Islamophobia, selain disebabkan oleh pemberitaan media massa yang biased (fake news), juga bersumber dari perbedaan budaya, agama dan kepentingan politik. John L. Esposito mengaitkan Islamophobia di Barat dengan peningkatan seranganserangan terorisme oleh kelompok-kelompok muslim radikal seperti peristiwa 911 di New York, rangkaian serangan teroris di Paris 2015 atau pemboman di Brussels 2016. Namun demikian, Islamophobia tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun juga. Sejatinya, Islamophobia membahayakan kepentingan Eropa sendiri. Karena bagai "kanker sosial" Islamophobia tengah menggerogoti nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan toleransi di dalam masyarakat Uni Eropa. Karena itu, Islamophobia harus diperangi bersama. [caption id="attachment_333438" align="aligncenter" width="900"]https://www.dewereldmorgen.be/ : Islamofobie als laatste strohalm voor het eurocentrisch denken https://www.dewereldmorgen.be/ : Islamofobie als laatste strohalm voor het eurocentrisch denken[/caption] Dalam retrospeksi, perlu dibedakan pula antara muslim ekstrimis dan muslim arus utama (mainstream Muslims). Teroris muslim tidak hanya menjadi ancaman terhadap pihak nonmuslim tetapi juga terhadap komunitas muslim sendiri. Bahkan korban serangan teror justru jauh lebih banyak berjatuhan di pihak muslim dari pada non-muslim. Di samping itu, muslim ekstrimis tidak mewakili mayoritas umat Islam yang tegas mengutuk tindakan teror mereka. Baik dalam Islam maupun Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha terdapat elemen ultra-konservatif dan fundamentalis yang mempertontonkan sikap eksklusif, tidak hanya terhadap agama lain tetapi juga kepada penganut agamanya sendiri yang memiliki pandangan yang berbeda. Ke depan, saya menduga trend Islamophobia akan tetap kuat di Uni Eropa, khususnya karena partai-partai populis sayap kanan makin maju di benua ini. Mereka meraup lebih banyak suara pemilih dari 10,6% pada 1980 menjadi 18,4 % pada 2017. Partai-partai sayap kanan terus memainkan politik identitas dan memanfaatkan "ketakutan" (fear). Menjadikan Islam dan muslim sebagai sasaran tembak sangat menguntungkan posisi mereka. Karena itu, Islamophobia tampaknya akan terus bergaung khususnya menjelang pemilu. [caption id="attachment_333439" align="aligncenter" width="900"]Pembakaran Al-Qur’an di Denmark oleh Partai Sayap Kanan Stram Kurs, April 2019 (Foto Istimewa) Pembakaran Al-Qur’an di Denmark oleh Partai Sayap Kanan Stram Kurs, April 2019 (Foto Istimewa)[/caption] Satu hal lain yang menarik, banyak politisi sayap kanan di Eropa yang begitu membenci Islam dan kemudian memutuskan untuk mengkaji AlQur'an demi mencari dan mengekspos kelemahan Islam. Tetapi ternyata mereka justru mendapatkan hidayah dan kemudian memeluk Islam. Hal ini terjadi pada beberapa politisi anti-Islam seperti Arthur Wagner dari Alternative für Deutschland (Jerman), Arnoux van Doorn dari Dutch Freedom Party (Belanda) dan Maxene Buttey dari Front National (Perancis).

Solusi

Muslim di Eropa cukup besar jumlahnya dan karena itu harus benar-benar masuk ke dalam arus utama masyarakat (mainstream) dan tidak berada di pinggiran saja (periphery). Mereka seharusnya menjadi profesional dan pengusaha muslim yang berhasil dan dihormati orang. Di samping itu, muslim di Eropa harus lebih baik mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Perlu dibangun hubungan dan pemahaman yang lebih baik dengan media, parlemen, pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Di samping itu, muslim Eropa perlu bersama-sama menolak ekstrimisme dan terorisme. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan negara-negara anggotanya perlu mendekati masyarakat muslim di Eropa untuk tujuan ini. Muslim Eropa wajib hukumnya menempuh cara-cara dan prosedur demokrasi jika menginginkan perubahan atau jika ingin memperjuangkan tujuan politik mereka. Dengan kata lain, haram hukumnya menempuh cara-cara ekstrim dan kekerasan. [caption id="attachment_333440" align="aligncenter" width="900"]Indonesian Interfaith Scholarship, Agustus 2019 saat kunjungan dan dialog ke salah satu Pesantren di Pandaran, Yogyakarta (Foto Istimewa) Indonesian Interfaith Scholarship, Agustus 2019 saat kunjungan dan dialog ke salah satu Pesantren di Pandaran, Yogyakarta (Foto Istimewa)[/caption] Dalam hubungan ini, OKI dapat membantu negaranegara Eropa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pemerintah kepada masyarakat muslim. Dan sebaliknya, OKI dapat pula mengkomunikasikan aspirasi komunitas muslim Eropa pada pemerintah negara-negara Uni Eropa.

Kontribusi Indonesia

Selama bertugas sebagai Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa, saya selalu berusaha untuk memajukan salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia untuk membangun harmoni antar agama dan antar peradaban. Indonesia memiliki modal yang kuat karena negeri kita adalah perwujudan dari Islam, demokrasi dan modernitas yang hidup berdampingan secara serasi. Harmoni sosial di Indonesia pun mendapatkan apresiasi luas di Uni Eropa. Saya selalu melakukan engagement dengan anggota Parlemen Eropa baik faksi European People's Party (faksi terbesar di parlemen) atau DASE (delegasi Parlemen untuk penguatan kejasama dengan ASEAN). Sering saya diundang dalam pertemuan-pertemuan breakfast meeting atau konsultasi yang mereka selenggarakan, dimana saya menjelaskan tentang Islam di Indonesia. Saya pun secara terang-terangan menyampaikan kritik saya terhadap Islamophobia di Eropa. Dialog kami sering hangat dan terus terang tapi tetap bersahabat. Sebagai strategi, saya juga sering mengatur kunjungan tokoh-tokoh lintas agama Indonesia untuk berinteraksi dengan berbagai stakeholders di Uni Eropa sehingga kepakaran mereka bisa mencerahkan teman-teman kita di Uni Eropa tentang Islam, toleransi dan perkembangan terkini di Indonesia. [caption id="attachment_333441" align="aligncenter" width="900"]Seminar ‘Islam and Tolerance in Indonesia’ di kota Antwerp, Belgia Desember 2018 (Foto Istimewa) Seminar ‘Islam and Tolerance in Indonesia’ di kota Antwerp, Belgia Desember 2018 (Foto Istimewa)[/caption] Saya juga rajin menjadi pembicara di lembaga think tanks seperti European Institute for Asian Study (EIAS) atau dalam forum-forum yang diselenggarakan Friends of Europe atau seminar yang digagas KBRI Brussel bersama majalah Diplomatic World, dimana saya selalu mengingatkan Uni Eropa untuk meningkatkan toleransi dan multikulturalisme. Selama saya bertugas sebagai dubes, sudah 6 edisi diselenggarakan program beasiswa "Indonesia Interfaith Scholarship". Sejauh ini sudah 52 alumni dihasilkan dari program tersebut terdiri dari para peneliti di Parlemen Eropa, pejabat Komisi Eropa, pejabat kemlu Belgia, jurnalis, peneliti di beberapa think tank, tokoh pemuda dan mahasiswa. Saya yakin kunjungan mereka ke Indonesia sangat bermanfaat untuk memerangi Islamophobia di Eropa. Berangkat dari keyakinan pentingnya "melihat untuk sejuta mata", pada November 2019 bertepatan dengan 70 tahun hubungan diplomatik Belgia-Indonesia KBRI Brussel menyelengarakan pameran foto bertemakan "Persatuan dalam Keberagaman" selama 3 minggu di gedung Parlemen Belgia. Melalui pameran yang dibuka oleh Ketua Parlemen Belgia Hon. Patrick Dewael itu publik Belgia menikmati suguhan suasana tentram kerukunan umat beragama di Indonesia. [caption id="attachment_333442" align="aligncenter" width="900"]Pada saat Pembukaan Pameran Foto “Bhinneka Tunggal Ika; Harmony of Indonesia in Pictures”, 19 November 2019 di Parlemen Belgia (Foto Istimewa) Pada saat Pembukaan Pameran Foto “Bhinneka Tunggal Ika; Harmony of Indonesia in Pictures”, 19 November 2019 di Parlemen Belgia (Foto Istimewa)[/caption] Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan mengangkat fakta bahwa Uni Eropa adalah sahabat Indonesia yang gemar memberi "kuliah" pada dunia tentang nilai-nilai demokrasi, kebebasan, toleransi, mutual respect, multikulturalisme, perlindungan dan penghormatan HAM. Mungkin sudah saatnya bagi Uni Eropa untuk merealisasikan apa yang sering dikuliahkannya itu, dengan menanggulangi Islamophobia di Eropa. Penulis: Yuri O. Thamrin, Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa periode 2016-2020