HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Human Interest

HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Human Interest
HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Human Interest (Foto : )
Mengenang sosok H. Achmad Bakrie tentu banyak sekali hal-hal yang bisa dijadikan contoh dan teladan tidak hanya bagi keluarga kecilnya, seperti anak dan istrinya, namun juga bisa dijadikan figur untuk semua yang ingin hidupnya terus bergerak maju.
Hal-hal yang kecil terkadang dipandang sepele. Padahal fenomena seperti itu banyak mengandung nuansa (corak) yang sarat akan nilai-nilai kepedulian, estetika dan refleksi keagamaan. Rekaman peristiwa masa lalu semacam itu banyak mengundang perhatian manusia (human interest), dan tidak pernah basi untuk diceritakan. Ada seorang anak manusia ingin mengikuti jejak ayahnya secara sembunyi-sembunyi, sebab sang ayah tak menghendakinya. Dimarahi, dicerca, bahkan didera, namun si anak tetap pada pilihan hidupnya. Belakangan, karena ia sukses sang ayah berubah dari sikap amarah menjadi bangga. Mengenaskan, mengharukan. "Pada adegan pengakuan sang ayah itulah Pak Achmad Bakrie tak tahan, lalu melelehkan air matanya,” ungkap B.S Kusmuljono ketika menonton pergelaran Opera Johan Strauss, Jr. di Amerika Serikat bersama mertuanya. Sebetulnya, lanjut Bus, panggilan akrabnya, kisah sukses “Raja Waltz”, Konduktor dan komponis asal Austria itu sama sekali tak berkaitan dengan true story mertuanya.
"Beliau sentimental, mudah tersentuh,” ujar mantan Direktur Utama Nusa Bank didampingi istrinya, Roosmania Bakrie Kusmuljono. [caption id="attachment_292770" align="aligncenter" width="900"]B.S Kusmuljono dan Roosmania Bakrie Kusmuljono B.S Kusmuljono dan Roosmania Bakrie Kusmuljono[/caption] Masih berkisar hubungan orang tua dengan anak, tapi ini kisah sejati, ketika ayahandanya sakit. Dalam keadaan sakit dan uzur, ia menuntun sang ayah ke kamar kecil, dan maaf, ia membasuh kemaluan ayahandanya dengan kasih sayang dan takzim, sehingga bersih untuk berwuduk. "Padahal bang Bakrie sudah menjadi saudagar kaya, dan pembantu khusus pun ada,” ungkap Rusli Hasan yang ikut menyaksikannya. Sepupu H. Achmad Bakrie ini juga menceritakan, tatkala ibunda H. Achmad Bakrie, Hj. Cholidjah sakit keras pada tahun 1965, H. Achmad Bakrie berada di Nagasaki, Jepang. [caption id="attachment_292769" align="aligncenter" width="900"]Tiga generasi. H. Oesman Batin Timbangan (ayah) Memegang Tongkat Berkopiah. H. Achmad Bakrie nomor 3 dari kiri belakang. Ir. H. Aburizal Bakrie duduk di pangkuan ibundanya, Hj. Roosniah Bakrie (Foto Rumah Pusaka, Lampung) Tiga generasi. H. Oesman Batin Timbangan (ayah) Memegang Tongkat Berkopiah. H. Achmad Bakrie nomor 3 dari kiri belakang. Ir. H. Aburizal Bakrie duduk di pangkuan ibundanya, Hj. Roosniah Bakrie (Foto Rumah Pusaka, Lampung)[/caption] Mendengar berita itu H. Achmad Bakrie langsung meninggalkan urusan bisnisnya, terbang ke Jakarta dan sesampainya di Jakarta, tanpa singgah di Simpruk rumahnya, langsung menuju Jalan Selamet Riyadi di mana ibunya tinggal bersama Abuyamin. Di rumah abangnya ini, ia dekati ibundanya dan memeluknya erat-erat. Padahal usianya sudah sekitar setengah abad waktu itu. Kerabat famili di Kalianda menuturkan, setiap mengunjungi tempat kelahirannya itu, H. Achmad Bakrie mengumpulkan sanak saudara dan kerap menceritakan masa kecilnya. Tersebutlah, penjual bubur bernama Madisah. la sering makan bubur tanpa membayar alias, “nembak.” Entah bagaimana rupanya, seperti menyadari kenakalannya, setelah sukses menjadi pengusaha, dibayarnya semua “hutang-hutangnya” itu. Penjual bubur yang waktu itu masih hidup hanya bisa terbengong-bengong saja menerima “piutang” itu. Ada lagi, seorang teman sering menangis setiap kali diganggunya. Belakangan orang itu ditemuinya lagi, sudah tua sama tua. Lalu, temannya itu menangis lagi. Apa pasal, rupanya teman sekolahnya itu terharu menerima “tebusan” maaf dengan sebuah jas. "Tak pernah ada yang berubah sifat bang Bakrie itu,” papar Masfalah dan Masani, dua saudara sepupu dari garis ibunda H. Achmad Bakrie. Adalah Chaizir putra Masfalah yang kini merawat rumah tempat kelahiran H. Achmad Bakrie merasa bersalah, karena pendidikan yang disokong pamannya itu tak terselesaikan dengan baik. Suatu kali, lelaki yang masih keturunan Pahlawan Nasional Raden Intan ini berkunjung ke rumah H. Achmad Bakrie di Simpruk. la terkesan sekali melihat permainan mobil-mobilan yang jarang ia lihat di mana-mana. Hasrat hendak menaikinya cukup besar, tetapi ia takut kalau-kalau tak diizinkan. "Ajak dong, itu kan saudara kamu juga?” tuturnya menirukan permintaan H. Achmad Bakrie pada salah seorang anaknya, dulu masih kecil. Ketika masih sekolah di SD (HIS), iseng-iseng berjualan sayur-mayur, di Menggala. Konon katanya, H. Achmad Bakrie sering dimarahi ibu-ibu agen sayuran di sana. Pagi betul ia rupanya sudah menunggu petani yang hendak menjual hasil tanamannya, sebelum ibu-ibu itu tiba di “bursa” sayur itu. Mereka mengomel, “Si Bakrie lagi, si Bakrie lagi.” Si cilik Bakrie pun tak kalah gertak, lalu menukas, “Kan saya duluan,” kata Habibah. Bermacam-macam cara berkomunikasi tentang pendidikan keponakan-keponakannya. Umpamanya, M. Ali Yamin dan saudara kembarnya, Jaya Usman Yamin ketika masih kecil disuruh menginjak-injak kaki, memijitnya, lalu bertanya ngalor ngidul masalah pendidikan putra almarhum Abuyamin (salah seorang pendiri Bakrie & Brothers). Dalam kesempatan lain, Iskandar Zulkarnain - kerabat istri H. Achmad Bakrie - membuka stand makanan dan minuman kecil pada pertunjukan “Holiday on Ice” di Istora Senayan. Selepas menonton atraksi tari dan ballet di arena es itu, H. Achmad Bakrie mengunjunginya lalu memberi dorongan, "Ndak apa, memulai itu dari yang begini.” Terhadap menantu perempuan, adalah Tatty Aburizal Bakrie menilai perhatian pada semua menantu sebagai cukup, tergantung subyek pembicaraan, katanya. “Cepat tanggaplah,” ujar ibu tiga anak di antaranya seorang putri ini tersipu-sipu. Wanita lulusan ITB asal Jawa Tengah ini, ketika menikah tahun 1973, pada awal perkenalan dengan mertuanya, sedikit memerlukan pemahaman artikulasi vokal suara sang mertua yang berat dan serak-serak. Sepanjang pembicaraan sesekali puteranya Anindra Ardiansyah Bakrie meminta ibunya mengomentari lukisan yang dibuatnya bervisualkan ayam jago ala karya Popo Iskandar. Tampaknya Anindra menyenangi seni lukis seperti Atuknya. Tidak lengkap rasanya, perkawinan tanpa foto. Bukan karena belum dikenal namanya foto. Ada. Rupanya, mobil yang rencananya akan membawa mat kodak terkendala dalam perjalanan di sekitar Jalan Sabang, menyusul peristiwa tembak-menembak, dan tragisnya mobil itu terkena peluru nyasar. Padahal perhelatan pada 17 November 1945 sudah terencana dengan baik, termasuk pak penghulunya. "Ah, pendidikan kamu lebih tinggi daripada saya,” ujar Hj. Roosniah - Roos - Bakrie menirukan perkataan sang suami yang sering diucapkan baik masa perkenalan singkat, juga ketika lama sudah berumah tangga. Ibu asal Medan yang lahir pada 17 Juli 1926 itu pernah bekerja di bagian Patologi RSCM Jakarta sebagai analis. Kalau ditanya resep mendidik anak, ibu empat orang anak dan sebelas cucu ini merasa tidak terlalu pandai menceritakan dengan rinci dan spesial. Barangkali, lanjut ibu ini, pertama belajar menghargai uang. Kedua, tidak bertengkar di depan anak, ketiga menanamkan nilai agama dan sopan santun sejak anak usia dini. Keempat tulus dalam menghargai profesi suami. Dan lainnya, ditemukan dalam lembaga perkawinan, seperti toleransi pada famili kedua belah pihak dan seterusnya. [caption id="attachment_292768" align="aligncenter" width="900"]Keluarga H. Achmad Bakrie - Hj. Roosniah (Foto Istimewa) Keluarga H. Achmad Bakrie - Hj. Roosniah (Foto Istimewa)[/caption] Sumber: Buku "H. Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5