Ketika melihat dan bertemu langsung dengan sosok H. Achmad Bakrie, orang pasti akan merasa banyak makna yang bisa dicontoh dari figur pengusaha yang sukses dunia dan akhirat itu.
Maksud hati hendak berlaku lebih santun di hadapan calon mertua, namun apa daya mau bersalaman tangan menyenggol gelas. Isi gelas tumpah dan, alamak, tak tertahankan gelas itu menggelinding lalu jatuh ke lantai.
"Pak Achmad Bakrie orangnya baik, jadi tertawa saja melihat kejadian itu,” tutur Ike Indira Nirwan Bakrie, tatkala menceritakan awal perkenalan dengan calon mertua, di sebuah restoran.
Wanita asal Jawa Timur yang nama “married”nya Ratna Indira Nirwan Bakrie ini, kendati seorang psikolog, memerlukan adaptasi karakter berbicara orang Sumatera.
“Kalau orang Jawa itu umumnya halus, hati marah namun bibir tersenyum. Di keluarga ini berbicara terus terang dengan nada kuat seperti sedang marah, padahal bukan.”
Dua kali menikahkan anaknya, H. Achmad Bakrie bermenantukan orang Jawa. Ir. H. Aburizal Bakrie mempersunting Tatty, dan Odi menikah dengan B. S. Kusmuljono.
Sewaktu akan meminang Ike, H. Achmad Bakrie bercanda, "Semua menantu saya orang Jawa. Saya buka jendela ketemu Jawa, keluar rumah buka pintu, Jawa lagi. Bagaimana anak saya nggak mau mencari orang Jawa, sebab yang satu dominan dan satunya lagi represif,” kata Ike menirukan mertuanya.
Ike pun melanjutkan, bahwa H. Achmad Bakrie yang dikenalnya adalah seorang yang suka humor, ramah, bisa menggembirakan orang lain. Besarnya perhatian Achmad Bakrie umpamanya nyaris tiada beda perlakuan antara anak dan menantunya.
"Jika saya salah, beliau tak segan-segan menegur,” katanya.
Umpamanya, pernah suatu ketika anak Ike sakit. Merasa si anak sudah agak baik, Ike keluar sebentar; begitu kembali ke rumah penyakit anaknya tambah parah. Rupanya dia diberi makanan pantangan oleh pembantu. Mengetahui kejadian itu H. Achmad Bakrie marah besar dan Ike menerimanya sebagai suatu pelajaran berharga.
"Sepenting apa pun pekerjaan, tapi berikan perhatian pada keluarga. Bila dasar keluarga itu kuat, maka keluarga juga kuat,” perkataan ini sering diungkapkan H. Achmad Bakrie di tengah-tengah keluarganya. Misalnya, kata Ike, ketika anaknya sakit, H. Achmad Bakrie selalu menyempatkan hadir walau sesibuk apa pun.
Bukan hanya sekedar bicara, tetapi memberi contoh langsung bagi keluarga besarnya. Dasar yang kuat dari keluarga itulah yang menjadi pedoman Ike untuk mendidik anak-anaknya, kendati konsep semacam itu bagi Ike bukan hal yang mudah dilaksanakan.
Perlambang bahwa wanita itu menurut H. Achmad Bakrie sebaiknya mengurus rumah tangga saja. Namun ketika Ike mulai menggeluti profesinya sebagai konsultan psikologi, baik H. Achmad Bakrie maupun suaminya, Nirwan Bakrie, mendukung tidak dan melarang pun tidak.
"Hanya saja saya tetap harus berangkat lebih akhir dan pulang lebih cepat dari suami,” kata mantan staf pengajar John Robert Power ini.
Dalam acara rutin bersantap bubur ayam setiap minggu pagi, para suami membicarakan bisnis sedangkan para istri berkelompok di ruangan lain membicarakan soal di luar bisnis, misalnya tentang mode pakaian atau pun masalah pendidikan anak.
Dalam pertemuan keluarga itu, H. Achmad Bakrie memberi “arahan” umum mengenai integritas keluarga dan sikap jujur, serta menekankan agar para cucunya bisa mencapai pendidikan formal yang setinggi-tingginya.
[caption id="attachment_292553" align="aligncenter" width="900"] Keluarga Nirwan Dermawan Bakrie - Ike Indira Nirwan Bakrie (Foto Dokumen Keluarga)[/caption]
Akan halnya para cucu itu kelak mengikuti jejak bisnis, H. Achmad Bakrie tentu saja mendambakan.
"Tapi kalau mengarahkan, rasanya tidak. Mungkin karena anak saya masih kecil-kecil waktu itu,” katanya. Ibu tiga anak ini pun melanjutkan, bahwa jiwa bisnis anak tertuanya, Adika Nuraga, cukup kuat dalam arti minat.
Pernah karena teman-temannya di sekolah sedang gemar gambar tempel (stiker), Aga - panggilannya - menjual stiker itu di kelasnya. Padahal tidak ada yang mengarahkannya, berkembang dari minatnya sendiri.
"Buat saya tidak mengapa. Yang penting tidak mengganggu pelajarannya,” ujarnya.
Dalam pandangan pribadinya sebagai psikolog, minat anak-anaknya memilih bisnis patut diberikan dukungan. Andai kata si anak ingin mengalami profesi di luar bisnis kelak, "A good doctor or a good professor dan digelutinya dengan baik, saya kira juga bukan pilihan yang jelek.” Namun itu sepenuhnya tergantung pada aspek lingkungannya sendiri.
Selain yang terkecil, kedua anaknya sempat mengenal “Atuk”nya dengan baik. Dua yang pertama berusia 7 dan 3 1/2 tahun sedangkan yang terkecil belum setahun.
Tatkala diberitahu yang bungsu laki-laki, sang kakek dalam keadaan sakit tertawa sembari menahan rasa sakitnya.
"Mungkin sedang membayangkan apa yang akan dihadapi dengan cucu yang kesekian lelaki lagi. Tapi memang Pak Bakrie senang dengan cucunya. Bahkan dia tahu apa yang menjadi kesenangan masing- masing cucunya,” ungkap aktivis Yayasan Penyantun Anak Asma Indonesia ini.
Menanamkan nilai-nilai agama pada cucu-cucunya, sang kakek memilih pendekatan empiris. Misalnya pada saat bulan puasa tiba, semua anak, menantu dan cucu berkumpul untuk berbuka dan makan sahur bersama. Jadi sejak usia dini mereka sudah dicontohkan dan ikut merasakan suasananya. Anak Ike yang baru duduk kelas 2 SD ketika itu pun sudah sanggup berpuasa sebulan penuh.
Selain mencintai keluarga dan menjaga kerukunan antar keluarga, ungkapan H. Achmad Bakrie yang juga acapkali didengarnya adalah, “A man who lives too gloriously must often die violently.” Karena itu, dalam keseharian H. Achmad Bakrie tidak nampak berlebih-lebihan.
Kiat sukses menjadi pengusaha, menurut ibu muda ini, bahwa pasangan suami-istri mertuanya itu tampak serasi selalu dan akur.
"Bayangkan saja jika istri marah atau lekas cemburu karena suami pulang larut malam. Jadi faktor istri sangat besar dalam membuat sang suami sukses, meskipun Ibu Bakrie tidak ikut campur dalam bisnis.”
Sebagai manusia yang otodidak, Achmad Bakrie memiliki wawasan berpikir yang jauh. Mendalami pengetahuan tidak saja pada bidang pekerjaan semata-mata, tetapi pada nuansa fenomena manusia lain semisal sastra, sejarah, filsafat, ataupun psikologi.
"Itulah kelebihan yang (mungkin) sulit ditemui pada generasi muda sekarang,” pungkas Associate Staff beberapa Biro Konsultasi Psikologi ini di salah satu kantornya di kawasan elit Menteng, Jakarta.
Sumber: Buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5
Baca Juga :