Namun itu sepenuhnya tergantung pada aspek lingkungannya sendiri.Selain yang terkecil, kedua anaknya sempat mengenal “Atuk”nya dengan baik. Dua yang pertama berusia 7 dan 3 1/2 tahun sedangkan yang terkecil belum setahun.Tatkala diberitahu yang bungsu laki-laki, sang kakek dalam keadaan sakit tertawa sembari menahan rasa sakitnya.
"Mungkin sedang membayangkan apa yang akan dihadapi dengan cucu yang kesekian lelaki lagi. Tapi memang Pak Bakrie senang dengan cucunya. Bahkan dia tahu apa yang menjadi kesenangan masing- masing cucunya,” ungkap aktivis Yayasan Penyantun Anak Asma Indonesia ini.Menanamkan nilai-nilai agama pada cucu-cucunya, sang kakek memilih pendekatan empiris. Misalnya pada saat bulan puasa tiba, semua anak, menantu dan cucu berkumpul untuk berbuka dan makan sahur bersama. Jadi sejak usia dini mereka sudah dicontohkan dan ikut merasakan suasananya. Anak Ike yang baru duduk kelas 2 SD ketika itu pun sudah sanggup berpuasa sebulan penuh.Selain mencintai keluarga dan menjaga kerukunan antar keluarga, ungkapan H. Achmad Bakrie yang juga acapkali didengarnya adalah, “ A man who lives too gloriously must often die violently.”
Karena itu, dalam keseharian H. Achmad Bakrie tidak nampak berlebih-lebihan.Kiat sukses menjadi pengusaha, menurut ibu muda ini, bahwa pasangan suami-istri mertuanya itu tampak serasi selalu dan akur. "Bayangkan saja jika istri marah atau lekas cemburu karena suami pulang larut malam. Jadi faktor istri sangat besar dalam membuat sang suami sukses, meskipun Ibu Bakrie tidak ikut campur dalam bisnis.” Sebagai manusia yang otodidak, Achmad Bakrie memiliki wawasan berpikir yang jauh. Mendalami pengetahuan tidak saja pada bidang pekerjaan semata-mata, tetapi pada nuansa fenomena manusia lain semisal sastra, sejarah, filsafat, ataupun psikologi.
Baca Juga :