antvklik Nama Srihadi Soedarsono begitu lekat dengan seni lukis. Sebagai maestro karya-karyanya tak hanya indah namun penuh nilai pergolakan batin sang maestro melihat kondisi zaman. Karya Srihadi bisa dilihat dalam pameran tunggal dan peluncuran buku “Srihadi Soedarsono Man x Universe” di Galeri Nasional Indonesia akan berlangsung dari Rabu (11/3/2020) hingga (9/4/2020).
Pembukaan pameran “Srihadi Soedarono Man x Universe” diagendakan dibuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Rabu (11/3/2020) di Galeri Nasional Indonesia. Pameran tunggal ini menampilkan 44 lukisan-lukisan bentang alam (landscape) karya maestro lukis Prof.
Srihadi Soerdarsono Adhikoesoemo, MA yang diproduksi dalam rentang tahun 2016–2020. Kurator Rikrik Kusmara, M.Sn., mengelompokkan karya Srihadi dalam empat rumpun besar, yakni Social Critics (Papua Series, Bandung Series, dan Field of Salt), Dynamic (Jatiluwih Series dan Energy of Waves), Human & Nature (Mountain Series, Tanah Lot Series, Gunung Kawi Series), Contemplation (Horizon Series dan Borobudur Series).
Karya-karya yang dipamerkan antara lain Horizon – The Golden Harvest (2018), Borobudur Drawing (1948), Borobudur – The Energy of Nature (2017), Mt. Bromo – The Mystical Earth (2017), Papua – The Energy of Golden River (2017), The Mystical Borobudur (2019), dan Jakarta Megapolitan – Patung Pembebasan Banjir (2020).
Seri lukisan landscape merupakan salah satu pendekatan yang sangat dikenal menjadi ciri khas karya-karya Srihadi. Lukisan landscape dalam konteks pameran ini adalah lukisan yang memiliki struktur bentang alam, daratan, langit, dan unsur-unsur di antaranya.
Srihadi menginterpretasikan keindahan landscape Indonesia sebagai semangat spiritual atas rasa kemerdekaan dan kebanggaan berbangsa. Sebab landscape dalam perspektif Srihadi adalah tema yang lebih dalam dari sekadar lukisan pemandangan yang menghipnotis orang asing untuk datang berkunjung.
Rikrik Kusmara menyebut pameran ini adalah pendekatan baru Srihadi dalam mengekspresikan landscape, sebab menampilkan metafora dan simbol yang cukup kompleks. Proses artistik tersebut tak lepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang tensinya naik sepanjang 2016–2019, tahun-tahun Srihadi menghasilkan karya untuk pameran ini.
Srihadi melukis landscape layaknya mencatat kejadian-kejadian, merekam perubahan-perubahan sampai hari ini. Seperti tertuang dalam Horizon – The Golden Harvest (2018, 200 x 400 cm) yang memampangkan pemandangan panen padi era 1970-an. Penduduk desa bergotong royong, bergantian memanen padi.
Sawah luas itu berbatas bukit landai di cakrawala. Di sisi lain, Horizon – The Golden Harvest (2018) mengingatkan kita betapa kalimat “hamparan sawah sejauh mata memandang” adalah pemandangan mustahil hari ini.
Tak ada lagi sejauh mata memandang, sebab baru saja sependek 20 meter, pandangan langsung terantuk dinding perumahan, atau pagar tinggi villa mewah, atau malah sawahnya sudah masuk dalam properti restoran yang menjual pemandangan sawah.
“Waktu saya kecil diajak kakek berkeliling melihat pemandangan, melihat sawah yang luas. Sekarang, sawah di belakang rumah sudah jadi rumah-rumah. Fenomena ini menjadi paradoks bagi negeri lumbung padi dan tambak garam tapi kekurangan padi dan garam sehingga harus impor,” ujar Srihadi.
Lukisan Papua juga menjadi seri penting dalam pameran ini, yang diwakili Papua – The Golden River Belong to Its People (2017) dan Papua – The Energy of Golden River (2017). Dua lukisan itu adalah tangkapan ingatan Srihadi atas Papua tahun 1975.
Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi Papua saat ini, ketika tambang meluas, jalan aspal sambung bersambung, dan luas hutan menyusut. Bayangkan Papua di tahun 1975 ketika hutan perawan masih mendominasi. Dilihat dari udara, menjelang malam, hanya hitam di bawah sana.
Lalu tiba-tiba tertangkap pandangan ada yang meliuk-liuk indah berkilat-kilat dari ujung ke ujung. Sungai keemasan yang menembus pekatnya hutan Papua. Pemandangan tersebutlah yang dialami Srihadi saat bertugas untuk melukis sumur pengeboran dekat Sorong, Papua, pada 1975.
Dia tiba di kawasan pengeboran di tengah hutan pada sore hari dengan menumpang helikopter. Akses darat nyaris mustahil sebab jalan aspal hanya sepanjang satu kilometer. “Alam Papua bagus sekali dilihat dari atas. Hutan sudah gelap. Yang terlihat hanya sungai mengkilat keemasan terkena sinar matahari sore. Kesan ini yang saya tangkap,” kata Srihadi Soedarsono.
Setelah berselang 45 tahun, Srihadi menghadirkan diskursus tentang Papua melalui dua lukisannya yang akan dipamerkan yakni Papua – The Golden River Belong to Its People (2017) dan Papua – The Energy of Golden River (2017). Situasi di Papua hari ini adalah topik yang selalu menarik perhatian dunia dan menjadi komoditas politik.
Salah satu sebabnya, Papua memiliki sumber daya alam begitu kaya tapi sekaligus menjadi daerah tertinggal. “Yang menarik, Srihadi tidak secara eksplisit menggambarkan realitas konteks sosial politik budaya ini, melainkan melalui metafora sungai keemasan (Golden River),” Rikrik Kusmara menjelaskan.
Seri penting lain yang dipamerkan adalah Borobudur di antaranya Borobudur – The Energy of Nature (2017), Borobudur – Moment of Contemplation (2017), Borobudur – Moment of Meditation (2017), dan The Mystical Borobudur (2019). Seri Borobudur menjabarkan perjalanan candi Borobudur di tangan Srihadi dari tahun 1948 hingga kini.
Perjalanan yang bukan tentang perubahan fisik atau visualnya, melainkan bagaimana Srihadi menyuguhkan konsep filosofis dan estetis situs suci tersebut. Melalui sketsa Borobudur yang dibuat pada usia 17 tahun menjadi cikal bakal Srihadi dalam membuat lukisan-lukisan landscape di kemudian hari.
Seperti halnya Borobudur – The Energy of Nature (2017). Lukisan dengan ukuran 160 x 150 cm yang dibuat pada 2017 itu memvisualkan candi Borobudur dengan latar belakang langit jingga berikut purnama tegak lurus dengan stupa utama. Karya enigmatic ini menjadi simbol puncak proses kontemplasi dan spiritualitas tentang kesadaran akan keberadaan diri dalam siklus bumi, bahkan lebih luas lagi, siklus jagat raya.
Secara filosofis, menurut Rikrik Kusmara, Srihadi ingin menekankan aspek human, culture, dan universe/nature. Tentang bagaimana manusia membuat Borobudur, bagaimana manusia berada di alam, serta eksistensi manusia sebagai bagian dari mikrokosmos dan makrokosmos. “Memang hal yang unik jika menelusuri Borobudur, seperti doa keseharian Srihadi untuk kehidupan ini.
Karena itu kehadirannya secara estetis selalu berbeda,” ujar Rikrik Kusmara. Selain itu, ada satu lukisan yang menempatkan Borobudur dalam konteks berbeda, yakni di Mt. Merapi – The Powerful Nature (2018) yang berukuran 200 x 105 cm. Candi ini “hanya” sebagai latar depan yang tak tampak jelas bentuknya selain siluet khasnya, mengantar pandangan pada megah dan mistisnya Gunung Merapi.
Borobudur menjadi kecil di hadapan alam semesta. ‘Zikir’ Srihadi terlihat lagi di Mt. Bromo – The Mystical Earth (2017, 145 x 158 cm). Bromo yang aktif mengeluarkan asap tebal berdampingan dengan Batok yang gunung mati, dilihat dari dekat sekali.
Detail komposisi bentuk dan warnanya menguatkan kesan gemuruh sekaligus kontemplatif sebagaimana Srihadi bekerja dalam ruang kontemplasi. Karya yang terakhir diproduksi di antara karya-karya yang dipamerkan adalah Jakarta Megapolitan – Patung Pembebasan Banjir (2020, 128 x 205 cm), menyorot bencana banjir besar yang menimpa Jakarta dan wilayah sekitarnya pada 1 Januari 2020.
Air yang menenggelamkan Jakarta divisualkan berwarna merah, bergolak, dan menutup tungkai bawah patung Pembebasan Irian Barat. Latar belakangnya gedung-gedung pencakar langit yang tetap gemerlap oleh lampu, sementara di langit ada gerhana matahari cincin, peristiwa alam yang terjadi sepekan sebelum banjir.
Patung Pembebasan Irian Barat menjadi Patung Pembebasan Banjir bukanlah sekadar plesetan. Ada kekhawatiran besar di sana. Kalau banjir terus bertambah volumenya, merembet terus menaiki kaki patung, bisa-bisa Pulau Jawa sudah tidak kelihatan.
Menurut Dra. Siti Farida Srihadi, M.Hum., akademisi seni rupa dan penulis buku “Srihadi Soedrsono Man x Universe,” sistem nilai Jawa membentuk pendekatan simbolis khas Srihadi, dari sudut bentuk maupun warna. Bagaimana kuasa Srihadi atas nuansa dan detil dikedepankan serta diperkaya oleh intuisi dan binaan roso, demi mencapai kondisi Manunggaling Kawulo Gusti.
Budayawan Dr. Jean Couteau menambahkan, “Srihadi mempunyai suatu kemampuan untuk merasa yang selain luar biasa, juga dikembangkan dan diasah oleh tradisi Jawa asalnya.
Dengan mempertimbangkan sejarah seni lukis Indonesia dan dunia, Srihadi Soerdarsono bukan hanya maestro simbolis, warna-is Indonesia, tetapi sebenarnya termasuk salah seorang maestro simbolis-koloris kelas dunia.” Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto mengungkapkan, “Srihadi melalui karya-karyanya membuktikan bahwa ia adalah sosok seniman yang paripurna.
Dengan ethic, emphatic, dan aesthetic, Srihadi menghidupkan karya-karyanya. Sebaliknya, karyanya pulalah yang menyemangati hidupnya, hingga ia tetap sehat dan aktif berkarya di usia senja. Keistimewaan Srihadi ini menjadi sumber inspirasi bagi banyak generasi.” Bersamaan dengan pembukaan pameran, akan diluncurkan buku berjudul “Srihadi Soedarsono Man x Universe” yang membedah hubungan spiritual manusia, berikut siklus hidupnya, dengan alam semesta.
Buku tersebut ditulis Farida Srihadi bersama budayawan Jean Couteau. Pameran juga dilengkapi dengan Seminar Pameran yang akan diadakan di Galeri Nasional Indonesia pada Sabtu, 28 Maret 2020.
Acara ini dikemas dalam dua sesi pembahasan yakni diskusi pameran dan buku, dengan pembicara Srihadi Soedarsono, Farida Srihadi, Jean Couteau, dan A. Rikrik Kusmara, serta Agus Dermawan T. sebagai penanggap. “Pameran ini merupakan wujud nyata konsistensi Srihadi Soedarsono sebagai maestro seni lukis dalam berkarya hingga saat ini.
Kedisiplinan dan kreativitas yang terus ia cerminkan dalam setiap karya lukisan yang dihasilkan, merupakan inspirasi yang patut ditiru oleh masyarakat luas terutama generasi muda,” ujar Selamet Susanto, perwakilan panitia penyelenggara pameran.
Pameran tunggal Srihadi Soedarsono tahun ini merupakan hasil kerja sama antara Srihadi Studio dan Sugar Group Companies untuk yang ketiga kalinya selama satu dekade terakhir, yakni “Retrospective 80th Anniversary Exhibition” tahun 2012, “Srihadi Soedarsono – 70 Years Journey of Roso” tahun 2016, dan “Srihadi Soedarsono— Man x Universe” tahun 2020. Dua pameran terakhir tersebut juga bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kerja sama tersebut sebagai bentuk komitmen dari Sugar Group Companies terhadap perkembangan seni lukis di Indonesia. Siapakah Srihadi Soedarsono? Pria kelahiran Solo, 4 Desember 1931, sejak usia dini suka menggambar.
Saat jadi pelajar, dia bergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) bagian Pertahanan pada 1945 dengan tugas membuat poster, grafiti, menulis slogan yang mengobarkan semangat juang di dinding-dinding besar dalam kota dan gerbong-gerbong kereta api. Lalu masuk sebagai staf Penerangan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Penerangan Tentara Divisi IV TNI di Solo.
Kegiatannya membuat brosur militer dan menggambar sketsa peristiwa penting untuk dokumentasi karena saat itu tidak ada kamera. Pada 1946, dia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Solo dan belajar dengan pelukis-pelukis perintis seni lukis Indonesia, seperti Sudjojono dan Affandi.
Sewaktu bergabung dengan Kementerian Urusan Pemuda Republik Indonesia yang berlokasi di Sekolah Taman Siswa Yogyakarta, Srihadi juga berada di sana bersama Sudjojono untuk menegakkan perjuangan Indonesia melalui seni rupa. Belanda ditarik dari Indonesia pada Desember 1949.
Alih-alih meneruskan bekerja di ketentaraan, Srihadi memilih meneruskan sekolah yang sebelumnya pernah terhenti, dan menerima beasiswa. Dia bersekolah di SMAN 1 Margoyudan, tamat 1952. Selepas SMA, Srihadi melanjutkan kuliah di Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa Fakultas Teknik UI yang untuk sementara berkedudukan di Fakultet Teknik Bandung (belum jadi ITB).
Pada tahun 1959, Srihadi Soedarsono merancang logo untuk ITB yang digunakan hingga saat ini. Dia tidak memilih kuliah di ASRI Yogyakarta karena sudah mengenal para tenaga pengajarnya saat dulu remaja aktif di sanggar di Yogya dan Solo. Di SIM, Srihadi mengalami Mazhab Yogya malah dari tangan pertama, Sudjojono dan Affandi.
Alasan lain, dia ingin belajar hal baru di Bandung. Ketertarikan Srihadi pada pendekatan landscape lebih jelas dideskripsikan antara tahun 1954-1959 ketika beberapa kali berkunjung ke Bali. Kunjungan yang paling penting adalah pada 1954.
Dia tinggal di pantai Sindhu, Sanur, Bali yang saat itu masih sepi, selain ada perahu-perahu, upacara, dan perempuan Bali di pantai. Masa tersebut adalah masa Srihadi memikirkan apa yang dia cari dari seni lukis. Dari momen-momen kontemplasi di Bali inilah Srihadi memahami arah karya-karyanya.
Dan saat mengamati pantai, Srihadi menemukan fenomena alam bahwa antara langit dan laut selalu ada garis penghubung yang lurus, bersih, dan indah. Garis horizon. Semacam titik nol yang siap untuk dikembangkan. Srihadi Soedarsono pensiun sebagai pegawai negeri sipil pada 1997 dan terus berkreasi hingga hari ini.
Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh oleh Srihadi Soedarsono antara lain Tanda-Jasa “Bintang Gerilya RI” (1958), Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II (1958), Piagam dan Medali “Satyalancana Kebudayaan RI” (2004), Piagam dan Medali “Anugerah Sewaka Winayaroha”, Penghargaan Pengabdian Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional (2008), serta penghargaan dari internasional yakni The American Biographical Institute 2005 Commemorative Medal “Man of The Year” (2005).