, H. Achmad Bakrie mencabut sebatang dan memberikannya pada Hasan.Terhadap makanan H. Achmad Bakrie mencari yang mudah saja misalnya dibeli di dekat kantor juga. Dulunya lebih sering Hasan mengambilnya dari rumah Achmad Bakrie di Gang Kelor naik bus Belanda MTD, bus yang tertutup terpal bekas truk militer.Sebelum mempunyai mobil, Achmad Bakrie berangkat ke kantor naik trem. Mobil itu
second hand mereknya Opel yang dibeli seharga Rp.30.000.- duit ORI (Oeang Republik Indonesia), supirnya Jayadi dari Rawamangun. Jayadi selalu nyeker karena zaman itu sandal atau sepatu belum memasyarakat.Waktu-waktu luang H. Achmad Bakrie di kantor sesekali mengaji dan suaranya keras sekali dan kalau sudah begitu Hasan ikut mendengarkan saja.Sehabis mengirim barang di pelabuhan, H. Achmad Bakrie iseng-iseng memanfaatkan waktu luang. Suatu kali mereka membeli nasi dan rencananya makan di geladak kapal yang sedang bersandar di dermaga. Duduk berhadap-hadapan ketika nasi hendak disantap datang marinir Belanda keturunan Ambon melarangnya, sebab kapal mau berangkat.Melihat seperti tidak mendengar peringatannya, senapan diarahkan pada mereka, lalu buru-buru mereka meninggalkan tempat itu. "Tahu saja marinir Ambon, tembak, tembak beneran, kan?!”
Kenang Hasan dengan wajah kecut agaknya masih membayangkan peristiwa itu.Meski majikannya ‘streng’ terhadap pekerjaan namun Hasan bila diberondong rasa amarah, memilih untuk diam, sebab H. Achmad Bakrie berpembawaan cepat marah, cepat ramah. “Adat sih keras, habis marah maranin saya, ngebaikin, terkadang malah ngasih duit.” Waktu Hasan menerima gaji pertama di tahun 1946, uang Nippon 1.500 atau menjelang pergantian duit merah senilai Rp 30. Hasan disarankan untuk tidak pergi menonton film di bioskop. “Nonton, beli rumah itu bodoh. Punya duit beli rumah bagus-bagus, nanti uang akan mati.” Tapi gaji pertama itu terbilang cukup Hasan masih tinggal bersama orang tuanya. Sekitar tahun 1953 Hasan ditawarkan untuk membeli rumah. "Lu, udah punya rumah belum?”
Baca Juga :