Menghormati sahabat seperti halnya terhadap H. Achmad Bakrie, rupanya bisa memicu lahirnya kemampuan baru. Setidaknya bagi Charlie Graham, mitra industri pipa Bakrie, orang Inggris yang kini menetap di Australia itu.
Mengaku bukan penulis, features-nya tentang almarhum H. Achmad Bakrie (di bagian lain memoar ini) sulit disebut karya sambilan karena Charlie Graham kerja ekstra keras, sepenuh hati, agar tulisannya itu benar-benar berkualifikasi “mengenang kepergian sahabat.”
Didasari sejumlah pengalaman empirik sejak pertama kali ketemu H. Achmad Bakrie, toh dalam tulisan itu Charlie Graham tak bisa mengelak banyak unsur subyektivitasnya.
“Saya tidak kuasa menahan pengaruh subyektivitas,” ujarnya dengan pandangan lurus.
Charlie Graham juga mengaku saat menulis, seakan-akan sosok H. Achmad Bakrie sedang ada di depannya.
Graham terbilang “bule” sahabat kental H. Achmad Bakrie, meski ia bukan orang asing pertama berbisnis dengannya. Seperti juga pemilik modal dari negara lain, Graham ke Indonesia untuk tujuan bisnis. la ditugasi perusahaannya di Australia, sebuah industri pipa, mencari peluang investasi.
“Cari dan kenalilah perusahaan mana di Asia Tenggara yang paling layak diajak joint-venture.” Begitu kurang lebih bunyi sang tugas.
[caption id="attachment_288566" align="aligncenter" width="900"] Charles T. Graham Mitra Asing Sekaligus Sahabat H. Achmad Bakrie, dari Australia, dengan Caranya Sendiri Melukiskan Sosok H. Achmad Bakrie. Foto Charles T. Graham Usai Wawancara di Wisma Bakrie, Kuningan Jakarta. (Foto Mitra-istimewa)[/caption]
Jadi, bisa saja di Thailand, Malaysia, Philipina, atau Singapura. Tapi Charlie Graham merekomendasikan Indonesia.
“Secara politik Indonesia lebih stabil, dan itu mendukung stabilitas ekonomi.” papar Charlie Graham.
Charlie Graham juga menambahkan, ekonomi Indonesia waktu itu tidak melompat, tapi juga tidak lamban. Lantas mengapa pilih Bakrie? Dari begitu banyak pertimbangan dan fakta,
“Saya simpulkan industri pipa milik Bakrie paling menarik.” Seingat Graham, waktu itu sudah berdiri setidaknya tiga pabrik pipa. Satu Dutch-based di Bandung, sisanya di Jakarta. Dan ia mengaku “menginteli” ketiganya.
Rupanya, pilihannya jatuh ke Bakrie karena kendati diameternya baru sekitar tiga inchi, “Pipa baja produk Bakrie lebih tebal.” Pantas di benaknya muncul bisikan, Bakrie ini pasti berorientasi kualitas dan jangka panjang.
Hal-hal seperti itu menurut Charlie Graham menyandang fungsi public image yang, katakanlah positif bagi industri. Namun ketika Graham menemui di kantornya, waktu itu masih di Jalan Asemka, Jakarta Barat, pemilik ternyata kurang berselera. Entah strategi atau taktik. Yang pasti, “Tawaran joint-venture saya ditanggapi dingin.
[caption id="attachment_288569" align="aligncenter" width="900"]
Usai Upgrading Mesin Pabrik Pipa Baja dari Ukuran 4” Menjadi 6” Pada 1978. Teknisi Morita dari Jepang (Itoh, Hasegawa, Iwasahi, Dan Akizuki),Empat Berturut-Turut dari Kiri. Lalu, H. Achmad Bakrie Duduk, Jan Kreefft (Mantan Kepala Pabrik Talang Tirta., Almarhum), Aburizal Bakrie, dan Jimmy Muljohardjo (Mantan Kepala Pabrik Pipa Baja Talang Tirta Menggantikan Kreefft). (Foto Perpustakaan Bakrie)[/caption]
Jadi, tentu saja Graham tidak menyerah. Pikir-pikir, barangkali ia datang bukan pada saat yang tepat. Kemudian ia datang lagi ke Asemka. Kali ini optimis. Sebab, waktu itu H. Achmad Bakrie sesekali memakai istilah “kita.” Suasana pun lebih santai.
Malah Graham surprise ketika H. Achmad Bakrie, dengan bahasa Inggris yang begitu fasih, tiba-tiba melucu.
“Charlie,” katanya,
“Belum saling kenal kok kita sudah pengen buka-bukaan pakaian segala.” Mereka akhirnya tak kuasa menahan tawa, terpingkal-pingkal.
Belum puas, H. Achmad Bakrie pun membacakan, sebagian ada yang dihafalnya, beberapa puisi klasik Belanda.
“Saya sendiri tak tahu artinya,” kata Graham sambil terbahak-bahak.
Pulang dari “pertunjukan baca puisi” itu Graham mengaku diam-diam kagum. Padahal tadinya ia fikir pengetahuan umum H. Achmad Bakrie tak seberapa luas.
Mereka akhirnya sepakat joint-venture. Segala sesuatu didiskusikan, lewat meeting demi meeting, secara terbuka dan habis-habisan.
Begitu terbukanya hingga “Pak Bakrie menunjukkan betapa sederhananya menajemen keuangan beliau.” Itu sebabnya Graham tahap demi tahap menjelaskan model menajemen keuangan “By examples. Termasuk apa itu budget, bagaimana menyusun cash flow,” kenang Graham lagi.
Singkat cerita, perusahaan joint-venture terbentuk. Itulah dia Bakrie Tubemakers, yang aspek managerialnya, policynya, berada di tangan Bakrie sejak semula.
Hubungan pribadi Bakrie-Graham dekat. Malah amat kental. Juga dengan Ibu Bakrie, Ical, Ibu Tatty, dan sejumlah anggota keluarga Bakrie yang lain.
Sejauh menyangkut industri, “Hubungan kami business-based sifatnya,” sambil mengaku mereka bisa menciptakan hubungan nonbisnis.
Persaudaraan atau kekeluargaan. “Seperti suasana ketika Pak Bakrie berpuisi, melampiaskan humornya. Atau tatkala saya dan istri menginap di villa beliau.”
Di mata Graham, antara H. Achmad Bakrie dan pelanjutnya, khususnya dalam hal relationship itu, nyaris tanpa beda. Hanya ia harus tahu diri,
“Pak Ical kini tentu jauh lebih sibuk. Perusahaan terus berkembang. Relasi bertambah. Karyawan pun begitu. Jadi wajar bila kemudian Pak Ical kian berkurang kesempatan non-bisnis relationship-nya,” duganya.
[caption id="attachment_288567" align="aligncenter" width="900"] H. Achmad Bakie Memberikan Kata Sambutan Pada Peresmian PT Bakrie Pipe Industries di Bekasi, 1982. Pabrik ini memproduksi 70.000 ton/tahun Pipa Minyak dan Gas (Foto Perpustakaan Bakrie)[/caption]
Tapi pada dasarnya kedua orang itu punya human appreciation yang tinggi dan tulus.
“Sulit saya bantah itu. Itulah kenapa saya dan istri tak sungkan-sungkan berkunjung ke rumah pak Bakrie di Simpruk, misalnya. Malah urusan-urusan industri pipa dan bisnis lainnya terkadang kami konfirmasikan di Simpruk,” ujarnya mengenang.
Ketika Pak Bakrie sudah pensiun pun, Graham tetap rajin mengunjunginya. Apalagi tatkala ia sakit. Graham ingat betul, suatu hari ia harus ke Hong Kong untuk urusan bisnis.
Sebelum berangkat ia merasa wajib ke Simpruk dulu. H. Achmad Bakrie waktu itu sudah terbaring. “Lemah. Bicaranya pun telah tak begitu jelas, walaupun sorot matanya terus memancarkan vitalitas,” kenangnya.
Graham kemudian ke Hong Kong dengan istri. Tentu saja “Saya mengharap kesembuhan beliau.” Tapi kunjungan ke Simpruk itu rupanya pertemuan terakhir mereka. Begitu dengar berita duka,
“Besok paginya saya dan istri bertolak ke Jakarta, bergabung dengan para pengantar keberangkatan almarhum. Padahal urusan di Hong Kong belum tuntas.” Namun mungkin berbeda dengan perasaan orang lain, buat Graham, “Kematian itu is a good thing for him.” Lho? Sebab “Saya saksikan sendiri derita fisiknya.” Dan di balik derita itu rupanya, “Tersimpan beban non-fisik, yang bagi orang sekaliber Pak Bakrie, justru beban itu lebih pedih.” Apa itu? Tak lain dari panggilan hati dan pikirannya untuk terus melakukan sesuatu.
Dorongan untuk berbuat apa saja yang berguna buat orang lain. Mungkin untuk perusahaan dan koleganya. Untuk istri dan anak-anaknya. Barangkali juga untuk cucu-cucunya, ungkap Graham terharu.
Dugaannya didasarkan pada konfirmasi Bakrie yang mirip “wishes.” “Di pembaringannya, pada pertemuan terakhir tadi, dengan suara berat ia bilang ingin menyaksikan dua hal: kesempurnaan pabrik pipa dan terbitnya matahari tahun 2000.
Maka, lewat mata dan komitmen para pelanjutnya, keinginan-keinginan itu toh pada akhirnya barangkali bakal terwujud. “amanat” Bakrie itu tampaknya lebih bermakna simbolik.
Pabrik pipa mengungkapkan perlunya pembesaran perhatian di sektor industri, terutama memasuki abad ke 21. Pendapat Graham juga begitu.
“Sebab setahu saya, Pak Bakrie memang merindukan lebih berkembangnya perusahaan di tangan para pelanjutnya.” Menurutnya, H. Achmad Bakrie adalah entrepreneur yang modest. la tidak merindukan sesuatu berhasil secara tiba-tiba. la tidak tertarik pada rencana yang muluk-muluk. Tapi pastilah ia “bahagia” jika kemudian terbukti.
Kelompok Usaha Bakrie berkembang sebagai perusahaan besar, kuat dan berpengaruh. Bahkan sebelum “Terbitnya matahari tahun 2000” itu. Di situlah Graham melihat semacam titik-titik perbedaan Pak Bakrie dengan Pak Ical.
“Sang ayah begitu modest - seperti juga saya.” Pak Ical? “Bagaimana ya! Saya pernah bilang sama dia supaya slow down.” Tapi setiap orang rasional pasti punya alasan yang kuat untuk memiliki suatu sikap, style. Begitu pula dalam menyusun perencanaan, strategi dan sebagainya.
Respek orang juga bisa berbeda penyebabnya. Buat almarhum, simpul Graham, sikap modest-nya membuat orang angkat topi. la tak pernah menampakkan, setahu Graham, perilaku-perilaku berusaha bagai orang kesurupan.
Segalanya mau dirambah. Semua mau dikangkangi. Ia wajar-wajar saja. Suatu waktu untung besar. Kali lain merugi. Ada pemula ada pelanjut dan ada masa pensiun.
H. Achmad Bakrie telah jauh melewati itu semua. la kini berada pada masa yang lebih abadi di sana... Charlie juga luar biasa respek karena beliau self made man. la haus informasi, pemburu knowledge. Itu mungkin sebabnya, di mobilnya selalu ada buku-buku berbahasa Inggris. Ia pencinta sastra dan sejarah.
Jujur Graham mengaku, dalam hal-hal seperti itu, “Saya berada di bawah kelasnya.” Well, Achmad Bakrie sudah pergi, dan Ical sekarang adalah “faktor.” Big operations.
Ekspansi. Lantas kaum profesional masuk. Ada Tanri Abeng dan kawan-kawan. Terjadi proses transisi dan proses adjusment. Tidak ada problem yang berarti dengan itu semua. Paling -paling memerlukan penyesuaian. Dan itu lazim di dunia bisnis.
“Ya, boleh jadi ada masalah-masalah individual. Tapi That’s beyond my knowledge,” ujar Charlie.
Yang pasti, katanya lagi, itupun bisa disebut proses alamiah. Jadi don’t worry!. Mengomentari kegiatan-kegiatan sampingan perusahaan seperti pendirian Yayasan Achmad Bakrie, kiprah di dunia olah raga, misalnya, orang Inggris-Australia ini bilang oke.
Menurutnya, itu antara lain menunjukkan besarnya kepedulian sosial perusahaan. Ia pun sepakat, kiprah seperti itu akhirnya juga menyandang fungsi public relations.
Mau tahu komentarnya tentang dunia bisnis sebagai sumber kepemimpinan, misalnya politik? Oo, “itu benar.” Namun dalam perspektif Bakrie, ia menyarankan “Lebih baik Ical mengkonsentrasikan perhatian ke pengembangan perusahaan.” Soalnya, alasannya, momentum pengembangan sudah ia tangkap.
Sayang kalau guliran momentum itu berpindah tangan. Pasti butuh lagi penyesuaian baru. Dan itu bisa mengganggu irama kerja yang sudah ada, walaupun komitmen pada sistem bisa jadi tak goyah, katanya.
Tapi kalau ia diminta, “Itulah dilemanya. Terpulang pada kontemplasi bersangkutan untuk menemukan pilihan paling cerdas. Menghadapi situasi-situasi seperti itu.
Mendingan ingat banyolan almarhum. Orang marah pun bisa terpingkal-pingkal,” Kunci Charlie mengenang sahabatnya, yang disebutnya “A modest entrepreneur.
Sumber: Buku "H. Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5
Baca Juga :