Kota Wuhan, China yang menjadi pusat penyebaran virus corona, sudah sebulan lebih dikarantina. Lalu seperti apa suasana kota sekarang?
Sejak 23 Januari 2020, Wuhan yang menjadi ibu kota Provinsi Hubei, China, dikarantina pemerintah guna menangkal penyebaran virus corona.
Kota berpenduduk 11 juta jiwa ini pun seketika menjadi kota hantu. Jalan-jalan mendadak sepi. Para pemilik toko menutup tempat usaha mereka. Layanan transportasi publik, seperti kereta dan bus umum juga dihentikan.
Praktis, aktifitas kota jadi lumpuh. Apalagi pergerakan warganya juga dibatasi aparat, guna mencegah virus mematikan itu menyebar lebih luas lagi.
[caption id="attachment_287072" align="alignnone" width="900"] Toko-toko tutup di Wuhan (Foto: Reuters)[/caption]
Masih Mengkhawatirkan
Lalu bagaimana kondisi warga di sana setelah menjalani karantina massal lebih dari sebulan?
Kantor berita China Xinhua pada hari ini, Selasa (3/2/2020) melaporkan situasi di Wuhan masih mengkhawatirkan namun sudah ada tanda-tanda positif.
"Jumlah kasus baru yang positif hari Minggu (1/2/2020) di Wuhan adalah 193 orang, jumlah paling rendah, dan jumlah kasus yang dicurigai juga menurun," kata Chen Erzhen, yang memimpin tim medis asal Shanghai untuk membantu provinsi Hubei menangani kasus corona.
[caption id="attachment_287068" align="alignnone" width="900"] Tak ada satu pun orang yang berkeliaran di jalan ini (Foto: Reuters)[/caption]
Sementara Direktur Komisi Nasional Kesehatan China, Ma Xiaowei pada Jumat lalu mengatakan, di Wuhan saat ini memiliki 5 ribu tempat tidur di 16 rumah sakit darurat yang bisa menampung pasien baru.
Disebutkan setiap harinya jumlah pasien yang boleh keluar dari rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan jumlah kasus baru.
Bahkan seperti dilansir Reuters, ada satu rumah sakit darurat yang ditutup karena berkurangnya jumlah pasien.
[caption id="attachment_287065" align="alignnone" width="900"] Pusat bisnis di Wuhan masih lumpuh (Foto: Reuters)[/caption]
Namun menurut kantor berita Xinhua, situasi keseluruhan masih mengkhawatirkan.
Sementara, laporan media Inggris, The Guardian menyebut masalah yang juga dihadapi warga adalah kesehatan mental.
Mengutip seorang mahasiswi PhD asal Wuhan di Inggris bernama Wi, Guardian melaporkan mengenai keadaan orang tua Wi yang tinggal di Wuhan dan sudah menjalani karantina selama lebih dari 20 hari.
"Sekarang dengan seluruh Wuhan ditutup, semua transport umum dan mobil pribadi tidak boleh beroperasi, jadi mereka bahkan tidak boleh mengendarai mobil sendiri di jalan," kata Wi.
"Jadi setiap hari mereka hanya di rumah, makan, tidur dan nonton televisi. Itu saja yang bisa mereka lakukan," tambahnya.
Orang tua Wi belum mendapatkan keterangan sampai kapan mereka harus tetap tinggal di rumah.
Wi mengaku khawatir dengan kesehatan mental orang tuanya, setelah melihat di media sosial ada yang berkomentar lebih memilih bunuh diri dibandingkan harus menjalani karantina lebih lama lagi.
Menurut kantor berita AFP, sebagian warga Wuhan mendapatkan pasokan makanan dengan menggunakan jasa antar, sejenis Gojek di Indonesia.
Di China, jejaring sosial yang digunakan adalah WeChat, yang sangat populer di negeri tersebut.
Sejak kota Wuhan ditutup Januari lalu, pemerintah masih mengijinkan warga untuk meninggalkan kediaman mereka tiga hari sekali. Hal ini dimanfaatkan warga untuk membeli bahan makanan untuk disimpan.
Namun sekarang di beberapa kawasan, larangan bepergian ke luar rumah sudah tidak diperbolehkan sama sekali.
Supermarket dan toko-toko di kota Wuhan bahkan sudah membuat layanan antar di WeChat, sehingga warga bisa membeli makanan, seperti daging, susu atau sayuran.
[caption id="attachment_287073" align="alignnone" width="900"] Pusat perbelanjaan tutup, gantinya jadi layanan pesan antar (Foto: Reuters)[/caption]
Di beberapa kawasan, warga bisa saling berhubungan, mereka membeli barang dalam jumlah besar, untuk kemudian dikirimkan ke rumahnya masing-masing.
Salah seorang warga di Wuhan bernama Guo Jing mengatakan kepada AFP, order bersama warga lain merupakan satu-satunya cara untuknya bisa membeli makanan.
Guo mendapat jatah membeli 6 kilogram sayuran, yang terdiri dari lima jenis sayuran, dengan harga sekitar Rp 100 ribu.
"Kita tidak memiliki pilihan dengan makanan yang akan kita santap. Kita tidak memiliki pilihan pribadi lagi," kata Guo.
ABC Indonesia