Sejumlah mahasiswa asing yang belajar di Australia mengaku jadi sapi perahan. Mereka dieksploitasi oleh pemilik akomodasi dengan meminta bayaran selangit.
Ketika mahasiswa asal China Jiaying Wan pertama kali tiba di Sydney, Australia, dia dipaksa harus membayar Rp 80 juta di muka selama empat bulan dan jaminan untuk tempat tinggalnya.Pemilik kos-kosannya juga mengenakan biaya bersih-bersih Rp1,65 juta per minggu dan harus membeli alas pelindung kasur Rp750 ribu untuk kamar tidurnya."Sebelum saya masuk, saya sudah merasa jadi sapi perahan. Saya belum pernah menggunakan alas pelindung kasur sebelumnya," kata perempuan berusia 24 tahun itu.Jiaying mencari sendiri tempat tinggal tersebut lewat internet sebelum dia tiba di Austrralia. Mahasiswa jurusan akuntansi ini lalu berhubungan dengan pemilik akomodasi tersebut lewat media sosial China WeChat.Akhirnya, Wan mencari bantuan hukum dan Pusat Bantuan Hukum Redfern Legal Centre membawa kasus itu ke Tribunal Sipil dan Administrasi negara bagian New South Wales.Tribunal memutuskan pemilik akomodasi mengembalikan Rp36 juta kepada Wan, termasuk Rp10 juta yang diambil dari kartu kreditnya."Sekarang tiap kali saya ingin mencari kos-kosan saya berusaha sangat berhati-hati. Saya ingin tahu kira-kira apa kemungkinan buruk yang bisa terjadi." katanya.Jiaying Wan mengatakan kondisi tempat tinggalnya di Sydney mempengaruhi stres secara mental maupun keuangan yang dialaminya ketika belajar di Australia.Apa yang dialami Jiaying Wan ini merupakan salah satu contoh maraknya eksploitasi terhadap mahasiswa asing di Australia oleh pemilik akomodasi.
ABC Indonesia
Survei: Separuh Mahasiswa Tertipu
University of Technology Sydney (UTS) dan University of New South Wales (UNSW) telah merilis sebuah laporan mengenai hal tersebut, Rabu (4/12/2019).Mereka melakukan survei terhadap 2.440 mahasiswa internasional dan separuh dari mahasiswa tersebut pernah merasa tertipu atau tinggal di akomodasi yang tidak memadai.Masalah utamanya adalah mahasiswa dikenai biaya berlebihan yang harus dibayar di depan, kos-kosan berdesakan, dan intimidasi.Penulis laporan dari UTS Laurie Berg mengatakan, eksploitasi ini berlangsung marak dan tidak ada peraturan mencegahnya."Mahasiswa internasional itu sangat rentan, mereka jauh dari rumah. Mereka kadang tidak tahu haknya, mereka tidak memiliki teman atau keluarga untuk bertanya," kata Berg.Apalagi menurutnya, mencari tempat tinggal juga tidak gampang karena banyak mahasiswa lain yang memerlukannya."Aturan, penyelidikan dan pengawasan di bidang ini lemah. Pemilik akomodasi terus mencari mangsa di kalangan mahasiswa internasional karena mereka tahu hal itu tidak akan ketahuan," kata Berg.Menurutnya, cerita di media mengenai akomodasi mahasiswa ini seperti "puncak gunung es" dan pihak berwenang harus melakukan sesuatu."Pemerintah jarang mengambil tindakan. Ketika ada tindakan, hukumannya lemah, jadi tidak ada peluang bagi menurunnya tingkat ekploitasi." katanya.Laporan tersebut membuat tujuh rekomendasi, antara lain mendesak ketersediaan akomodasi lebih banyak bagi mahasiswa internasional dan memastikan pemilik akomodasi mendapat pengawasan lebih ketat.Pada 2018 ada 876.000 mahasiswa internasional yang mengikuti pendidikan di universitas, sekolah kejuruan, kursus bahasa Inggris dan sekolah menengah di Australia.Baca Juga :