Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri membeberkan hasil investigasi desa siluman atau desa fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara, Ini temuan mereka.
Dirjen Bina Pemerintah Desa Kemendagri, Nata Irawan mengungkapkan hasil investigasi desa siluman atau desa fiktif di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (18/11/2019),
"Berawal dari isu yang disampaikan oleh Pimpinan KPK, ketika itu Pak Laode, ketika Menteri Dalam Negeri rapat di ruang sidang utama bersama mitra kita juga, yaitu dari Kejaksaan Agung, disampaikan ada 56 desa fiktif di Kabupaten Konawe. Kemudian setelah itu tim kami langsung turun ke lokasi mencari data dan fakta terkait dengan persoalan tersebut," kata Nata.
Ditegaskan Nata, hasil investigasi mereka menunjukkan desa itu ada dan tidak fiktif.
“Kami lihat di lapangan, desa tersebut ada dan tidak fiktif. Hasil temuan yang kami dapat, ternyata desa tersebut ada tetapi tidak berjalan tata kelola pemerintahannya secara optimal,” ungkap Nata.
Namun menurutnya, tim mendapatkan data dan informasi bahwa penetapan Perda tentang pembentukan dan pendefinitifan desa-desa dalam wilayah Kabupaten Konawe tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.
“Kami sepakat betul Perda yang dilakukan Bupati Konawe cacat hukum, karena tidak melalui mekanisme dari DPRD. Oleh karenanya harus kita perbaiki, benahi administrasinya,” ujarnya.
Cacat Hukum
Register Perda di Sekretariat DPRD Kabupaten Konawe yakni Perda Nomor 7 tahun 2011 tersebut adalah Perda Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010.
Oleh karenanya, 56 desa yang tercantum dalam Perda tersebut secara yuridis dikatakan cacat hukum. Lantaran diduga bermasalah dan berpotensi merugikan negara, maka 56 perangkat desa tersebut telah diminta keterangan oleh Polda Sulawesi Tenggara.
Hasil klarifikasi dan pendalaman juga menunjukkan, terdapat 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa. Selanjutnya 18 desa masih perlu pembenahan dalam aspek administrasi dan kelembagaan serta kelayakan sarana dan prasaran desa.
Sedangkan empat desa yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma ditemukan dalam proses pendalaman hukum lebih lanjut dikarenakan empat desa tersebut terdapat inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah Desa.
Hasil kelanjutan pendalaman dari empat desa tersebut, dua desa yaitu Desa Wiau Kecamtan Routa dan Desa Napooha Kecamatan Latoma masih perlu didalami lebih intensif.
Terkait anggaran, tim mendapatkan data dan informasi bahwa empat desa tersebut telah disalurkan dana desa dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) sebesar Rp 9.327.907.054.
Namun baru sebesar Rp.4 350.045.854 atau (47 persen) yang telah disalurkan dari RKUD ke-4 Rekening Kas Desa (KUD), sehingga masih tersisa dalam RKUD sebesar Rp 4.977.861.200 atau (53 persen).
"Selanjutnya sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2018 ADD atau Bantuan Keuangan telah dianggarkan di APBD dan disalurkan kepada empat Desa tersebut sebesar Rp 899.102.180,” urai Nata.
Kesenjangan Penghasilan
Tim juga menemukan aktivitas pemerintahan desa tidak berjalan dengan baik karena kepala desa dan perangkat desa tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai aturan yang berlaku. Selain itu juga adanya kesenjangan antar kepala desa beserta perangkatnya dengan penghasilan yang diterima oleh pendamping lokal desa. Padahal pendamping lokal ianggap tidak membantu dan tidak selalu hadir di lapangan.
Tim mendapatkan data dan informasi dari perangkat desa yang dapat ditemui bahwa pembinaan secara menyeluruh terkait dengan tata kelola pemerintahan desa tidak dilaksanakan oleh kepala daerah baik gubernur sebagai wakil pemerintah pusat maupun bupati sebagai pembina langsung pemerintahan desa di Kabupen Konawe,” katanya lagi.
Rahmat Aminudin I Jakarta