Hari Santri Nasional, Resolusi Jihad dan Fungsi Pesantren

Hari Santri Nasional, Resolusi Jihad dan Fungsi Pesantren
Hari Santri Nasional, Resolusi Jihad dan Fungsi Pesantren (Foto : )
Pagi dini hari, di penghujung sepertiga malam terakhir saya menuju Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) memenuhi undangan gubernur untuk mengikuti rangkaian acara Hari Santri Nasional (HSN) yang ke-IV.
Tidak ada mantan santri. Sampai kapanpun saya tetap santri. Kata kyaiku dulu, santri adalah kepanjangan dari “satiru al-Uyub” (penutup keburukan –orang lain); naibun ‘ani as-Syuyukh (siap menerima tongkat estafet dari pendahulunya); tariku al-Ma’asi (meninggalkan dosa-dosa); raghibun fi al-Khair (pecinta kebaikan); dan yaqin.Saking yakinnya kadang terlalu percaya diri. Karena memang sudah terlatih bahwa yang harus dilihat adalah kebesaran Allah, bukan kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Sebuah frasa yang sangat menarik dan terkesan too good to be true .Namun itulah karakter yang dibutuhkan oleh anak-anak bangsa ini untuk menuju Indonesia yang lebih beradab, sejahtera adik makmur.Tidak cuma saya, santri di saentro tanah air hari ini merayakan HSN. Tema yang diusung adalah Santri Unggul Indonesia Makmur. Kemakmuran sangat sulit diraih tanpa adanya sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Ciri keunggulan manusia dilihat dari adab dan ilmunya. Santri adalah SDM. Indonesia yang harus unggul dan diunggulkan.Peringatan HSN berkaitan erat dengan sejarah resolusi jihad yang pernah difatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya (22 Oktober 1945) yang 5 hari kemudian, resolusi tersebut dimuat oleh koran Kedaulatan Rakyat (27 oktober).Pasca fatwa tersebut kemudian terjadi pertempuran 4 hari di Surabaya (26, 27, 28 dan 29 Oktober), dan puncak perlawanan tersebut adalah pertempuran 10 November di Surabaya. Santri bersama kyai mempertahankan negeri ini dengan segala daya upaya dan peralatan seadanya.Meskipun kemerdekaan RI ini tidak lepas dari jasa santri dan kyai, namun berpuluh-puluh tahun, keberadaan mereka beserta lembaga pendidikan tertua, pesantren itu tidak diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga tercipta image bahwa pesantren itu miskin, kotor dan jorok.Pesantren adalah institusi yang paling sering tertinggal dalam wacana pendidikan nasional. Santri adalah kaum sarungan yang terpinggirkan. Lulusan pesantren selalu dipandang sebelah mata. Berpuluh-puluh tahun ijazah pesantren tidak diakui oleh pemerintah, tidak bisa dipakai untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.Meskipun kenyataannya sering terjadi justru anak-anak pesantren itu lebih berpotensi dibandingkan dengan yang lain. Buktinya ketika mereka diberi kesempatan, jebolan pesantren tidak kalah dengan mereka yang berpendidikan formal.Meskipun demikian, pesantren sampai sekarang masih tetap eksis. Terbiasa mandiri tanpa bantuan pemerintah. Kabar baik setelah presiden Jokowi menetapkan hari santri (2015).Berikutnya, ijazah pesantren diakui, disetarakan (muadalah) dengan ijazah pendidikan formal yang lain. Sistem pendidikan pesantren telah menjadi sub-sistem pendidikan nasional. Apalagi setelah UU pesantren disahkan, ini menambah kabar baik bagi komunitas pesantren.Setelah perjuangan yang panjang, akhirnya pendidikan pesantren tidak lagi disejajarkan dengan pendidikan non-formal lain seperti kursus menjahit dll. Padahal kalau lihat jasa komunitas pesantren kepada negeri ini tidak ternilai.Kiprah alumninya di masyarakat tidak diragukan lagi. Semoga ke depan, di Kementerian Agama akan ada Direktorat Jenderal (ditjen) yang khusus menangani pesantren.Semua itu langkah awal yang baik. Pemerintah pusat dan daerah memiliki dasar untuk membantu pesantren. Sehingga tidak ada lagi pesantren bale rombeng, tidak ada lagi kobong (jawa: gotakan) yang tidak layak huni.
Fungsi utama Pondok Pesantren Adanya kemudahan-kemudahan dan bantuan dari pemerintah, jangan sampai jadi boomerang yang menghabisi tradisi yang telah ada di pesantren, seperti kemandirian dan jangan sampai pesantren justru kehilangan ruh keikhlasannya.Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, harus tetap menjaga nilai-nilai luhur yang telah ada, meskipun perlu menggunakan sistem tata kelola modern untuk meningkatkan kualitas fisik dan kualitas kehidupan di pesantren.Pesantren juga tidak boleh melupakan fungsi utamanya sebagai: Pertama, pusat transmisi ilmu keislaman (tafaqquh fi ad-Din) dan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain; Kedua, lembaga untuk memelihara dan melestarikan tradisi Islam, dan ketiga adalah sebagai tempa untuk membina calon-calon ulama/ tokoh yang siap terjun ke masyarakat.Agar itu bisa berhasil, maka perlu kita sepakati bersama –sebagai dasar kesadaran etis meskipun tidak tertulis– bahwa pesantren dan santri jangan sampai digunakan sebagai alat politik, baik oleh para politisi maupun oleh kyainya sendiri. Karena jika demikian, maka fungsi-fungsi tersebut di atas tidak akan berjalan optimal.Kalau ada seorang kyai yang berpolitik akan terseret pada dua kemungkinan, mengorbankan pesantren untuk partai politiknya atau sebaliknya, menjadikan politik untuk kepentingan pesantrennya.Selain itu, para pengasuh pesantren perlu memperluas kesadaran individunya jangan hanya sampai pada kesadaran jamaah saja (kelompok, golongan, ormas), kesadaran-kesadaran itu perlu diperluas menjadi kesadaran kolektif untuk tujuan dan kepentingan umat.Komunitas pesantren jangan ternina-bobokkan oleh HSN, lalu melupakan hal-hal lain yang lebih penting. Untuk makmur perlu SDM unggul. Untuk unggul perlu waktu dan hal-hal lain yang ekstra. Selamat hari santri. Penulis: Sukron Makmun, (Wakil Ketua PWNU Banten, Anggota Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Provinsi Banten)