Terlepas dari tujuan dan akibat yang ditimbulkan, aksi para demonstran yang terjadi belakangan ini ibarat sebuah tim sepakbola. Dimana di sana ada goal keeper (GK), defender (DF), midfielder (MF), dan forwarder (FW). Ada penjaga gawang, pemain bertahan, pemain tengah dan penyerang. Coach atau pelatihnya? Selesaikan dulu membaca tulisan ini.
Oleh: Yusuf Ibrahim
Kita awali dari GK. Penjaga gawang dari aksi demonstran ini adalah para Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mungkin tidak semua pimpinan BEM menjadi inisiator demontrasi ini. Tapi melihat kiprah beberapa sosok mereka di media mainstream, sejauh ini merekalah yang menangkal bola serangan dan tuduhan terhadap aksi demo mahasiswa yang terjadi. Mereka yang keras menolak aksi demo ditunggangi kekuatan tertentu.
Diawali dengan aksi penyelamatan gawang yang ciamik lewat pernyataan Ketua BEM Universitas Indonesia, Manik Marganamahendra.
“Ya benar aksi kami memang ditunggangi. Tapi ditunggangi oleh kepentigan rakyat!!” begitu tegas Manik saat tampil di program Indonesia Lawyers Club, Tvone, pekan lalu.
Selanjutnya posisi DF, para pemain bertahan dari aksi demo ini adalah para demonstran pada umumnya. Awalnya posisi ini diisi oleh para mahasiswa yang ikut-ikutan demo karena rasa solidaritas.
Mahasiswa yang kurang paham isu. Tapi dalam perjalanan posisi ini diambil oleh para demonstran yang berasal dari masyarakat pada umumnya.
Masyarakat yang merasa kecewa, frustrasi dan sakit hati dengan beberapa kebijakan pemerintah. Masyarakat yang menganggur tak punya kerjaan, masyarakat yang termarginalkan, masyarakat yang muak kepada para politikus, dan masyarakat yang sering lapar dari pada kenyang. Mereka bergabung dengan para demonstran sebagai pelampiasan.
Posisi pemain tengah alias midfielder
sejak awal murni dikuasi oleh mahasiswa.
Laksana sebuah permainan sepakbola, tugas MF adalah menerima dan mengolah bola agar selalu mengalir ke depan. Para demonstran di posisi ini boleh dibilang paling capek jika serangan bertubi-tubi. Mereka harus naik turun ke belakang dan ke depan menyuarakan aspirasinya. Menggelorakan isu. Tak heran jika korban banyak berjatuhan di posisi ini, karena mereka harus aktif sementara yang di depan dan di belakang melemah karena berbagai sebab. Posisi ini agak mengandalkan intelektualitas yang lebih terstruktur di ranah demonstrasi.
Berikutnya adalah posisi FW, penyerang atau striker!. Sebenarnya ini adalah posisi tukang cetak goal. Posisi mahasiswa yang vocal. Tapi dalam hubungannya dengan aksi demonstrasi yang marak kali ini, posisinya belakangan ditempati oleh anak-anak STM dan pelajar lainnya. Mereka tak tertarik mencetak goal. Mereka hanya melakukan tugas membuka ruang serbuan bagi pemain tengah dan pemain belakang untuk mencetak goal.
Poster mereka kepada publik di lapangan saat berhadapan dengan aparat keamanan bertameng dan berpentungan.
“Mundur, Kak. Biar kami yang di depan. Kami lebih suka praktek dari pada teori!”
Gila!!... Aksi anak STM ini kemudian menjadi trending. Tagar #STMBergerak, #STMMelawan menguasai ekosistem sosial media.
Ada yang salut, kagum dan haru, tapi banyak juga yang perihatin dan mengecam.
Yang salut, kagum dan haru menganggap ini sebuah fenomena menarik. Bahwa anak STM dan pelajar lainnya yang selama ini dianggap masa bodo dengan keadaan, ternyata juga punya kepedulian terhadap situasi hukum dan politik. Terlepas dari mereka sebenarnya mengerti atau tidak isu yang diprotes mahasiswa.
Yang perihatin dan mengecam menganggap ini tak benar dan tak boleh pernah terjadi. Mereka masih di bawah umur untuk urusan hukum dan politik praktis. Ada yang salah dengan mereka. Harus diatasi dan dibina ulang. Semua unsur masyarakat harus bertanggung jawab, kata pengamat perkembangan remaja.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Gubernur DKI Anis Baswedan, dan beberapa pengamat pun agak berhati-hati mengomentari gerakan demontrasi para pelajar, ketika ada yang punya ide pelajar yang turun ke jalan harus diberi peringatan dan sanksi dari sekolah. Mereka meminta bantuan orang tua dan guru untuk mengawasi.
Sebuah pekerjaan rumah terbaru Kemendikbud dan jajaran lembaga pendidikan terkait lainnya dalam mencari solusi dan menjawab pertanyaan mengapa mereka bisa ikut demonstrasi.
Kenyataan di lokasi demonstrasi memang luar biasa saat anak STM dan pelajar lainnya ikut turun ke jalan. Meraka yang tadinya suka “bertawuran” antar sekolah lantas kompak.
Semangat mereka luar biasa. Merangsek aparat keamanan seperti tak tak kenal rasa takut. Antara protes, marah dan guyonan jadi satu. Agak membingungkan.
Apakah mereka ada yang menggerakan? Entahlah. Perlu pendalaman dan investigasi. Pengamatan penulis saat di lapangan, mereka seperti muncul dari mana saja. Seperti semut dan nyamuk yang muncul dari celah dan lubang karena cuaca panas dan kemarau.
Sekali lagi, jika diibaratkan para demonstran itu adalah tim sepakbola, anak STM dan pelajar lainnya adalah pemain depan. Penyerang! Penyerang yang kemudian menjadi Man of The Match dari sebuah duel kepentingan. Kepentingan pemerintah dan DPR melawan kepentingan rakyatnya. Ukuran gelar Man of The Match diberikan kepada anak STM karena ulah mereka terbukti menjadi trending topic.
Lalu siapa pelatih tim sepakbola itu? Penulis tidak tahu. Belum tertarik membahasnya. Tak mau berandai-andai. Silakan pembaca menduga-duga. Menggunjing dan berbisik-bisik.
Kalau untuk posisi wasit? Paling pas adalah wartawan. Profesi yang terbiasa diprotes dan dipuji. Layaknya wasit, di lokasi demontrasi wartawan terbukti mendapat protes baik dari para demonstran maupun aparat keamanan. Termasuk protes dari penonton duel kepentingan itu, yakni masyarakat umum dan pengamat.
“Wartawan sekarang kalah sama sosmed. Kurang berani dan pilih-pilih. Payah!” Begitu teriak seorang masyarakat kepada penulis saat berada di beberapa lokasi demontrasi. ***
Baca Juga :