Ingar bingar pro dan kotra revisi UU KPK dan RUU KUHP cetar membahana. KPK dan KUHP memang tidak bisa dipungkiri adalah bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Oleh : Mohammad Muchsin Namun ada yang tidak kalah penting buat kita semua, yaitu perkawinan. Agenda besar DPR RI hari-hari ini adalah mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang, termasuk revisi undang-undang perkawinan.Pengesahan RUU Revisi UU Perkawinan oleh DPR telah dilakukan berjalan mulus dan ruang publik tidak ramai dengan pro dan kontra.Isi revisi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah merubah ketentuan dalam pasal 7 ayat (I) undang perkawainan yang mengatur usia minimal perkawinan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.Dalam revisi dirubah usia minimal menikah perempuan dan laki sama menjadi 19 tahun. Revisi ini sejalan dan dalam rangka menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 yang menyebutkan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam pasal 1 ayat (3), pasal 28B ayat (2,) dan pasal 28C ayat 1 UUD 1945.Berbeda dari kebanyakan putusan MK, dalam putusan ini MK juga mengutip sejumlah ayat Al quran yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Juga Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017.Putusan ini menegaskan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.Mahkamah Konstitusi juga “memerintahkan” agar DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU Perkawinan paling lambat 3 tahun sejak putusan dibacakan.Sesaat setelah revisi undang undang perkawinan disahkan wajah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise sumringah. Kedua matanya berkaca-kaca saat keluar dari ruang rapat paripurna di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, 16 September lalu.Menurut Yohana, meningkatkan usia perkawinan memberikan banyak keuntungan. Mulai menurunkan angka kematian ibu dan anak, menekan angka putus sekolah, mengurangi angka perceraian, hingga mengoptimalkan pemenuhan hak anak. Khususnya perempuan yang memiliki risiko lebih besar, Dua Hal Penting Dalam Putusan MK Terlewatkan
Namun di balik itu, ada hal yang menjadi tanda tanya, karena revisi uu perkawinan tidak menjalakan dua putusan MK lainnya yang berkaitannya dengan Undang-Undang Perkawinan.Pertama yaitu Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat. Pasal ini menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.Seperti kita tahu persidangan kasus ini menyita perhatian publik kala itu. Diajukan oleh penyanyi dangdut Machica Muchtar.Dalam amar putusannya, MK sudah membuat rumusan sebagai beikut:“ Pasal itu seharusnya dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.Dari rumusan itu tidak sulit bagi DPR dan pemerintah untuk memasukkannya juga dalam revisi undang-undang perkawinan.Kedua yaitu Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut”.Putusan ini telah memperluas waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Selama ini, UU Perkawinan hanya mengatur perjanjian pranikah (prenuptial agreement).Dengan putusan MK, maka kedua pihak dapat membuat perjanjian baik sebelum maupun selama masih dalam ikatan perkawinan. Asalkan kedua pihak setuju, dan perjanjian itu disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris.Dua hal itu, yaitu perjanjian pranikah dan status anak luar kawin sejatinya juga menyangkut hak asasi manusia, seperti yang yang dijadikan dasar memasukkan batas usia minimal kawin ke dalam revisi.Dalam rangka menjalankan Putusan MK, semestinya DPR RI tidak tebang pilih. Revisi sudah sepatutnya dilakukan kembali.MK sesuai kedudukannya adalah sebagai negative legislator. Artinya, MK memutus sebuah norma dalam UU bertentangan konstitusi atau tidak.MK Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 merupakan lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif. Sedangkan, kekuasaan legislatif atau kekuasaan untuk membentuk undang-undang (positive legislator) dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dengan melibatkan Pemerintah untuk pembahasan rancangan undang-undang.
Baca Juga :