(rombongan pasukan ghaib dari Pantai selatan menuju Merapi ataupun sebaliknya)Di daerah Gondolayu (sebelah timur Tugu) sekitar tahun 1950an ada seorang kakek-kakek yang tinggal di tepi Kali Code bertutut pernah mendengar suara gemrincing kereta beserta derap kuda. Ia pun bergegas memukul kentongan titir bertalu-talu.Masyarakat sekitar sudah paham. Mereka bergegas masuk rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Mereka meyakini jika sampai rombongan Lampor berhenti di kampung mereka, yang terjadi adalah serbuan penyakit bahkan kematian.
Mistis Tradisional vs Mesin Modern Lalu apa korelasi mistisme tradisional ini versus
mesin-mesin modern terkait eksistensi keraton gaib Merapi?Merapi dipercaya melimpahkan rejeki kesuburan dan hasil buminya untuk masyarakat yang hidup di lerengnya. Namun ada satu syarat, tidak boleh serakah! Ini pernah ditegaskan Mbah Maridjan bahwa para penambang pasir yang menggunakan alat-alat berat adalah serakah. Inilah yang membuat murka Sang Bahureksa.Gelontoran modal untuk meraup untung dari pasir dan bebatuan Merapi tidaklah sedikit. Alat berat turun ke kali-kali. Ratusan truk merayap di lembah-lembah sepanjang Kali Boyong. Apa yang terjadi? Wong cilik modal pacul habis dilibas.Bagaimana para penambang pasir tradisional ini melawan? Mistisme! Segala cerita ataupun kesaksian mistis jadi alat perlawanan. Mereka hanya berharap Merapi berpihak. Menggilas mesin-mesin modern. Menggulungnya hancur.Sedangkan para manusia penggerak mesin dan semua antek-anteknya, ditulah kualat. Diberesi para pocong Kali Boyong seperti cerita di atas. Tiada tenang hidup mereka hingga Selaras Jagat mereka sepakati.Ya, selaras jagat adalah kearifan masyarakat jawa menjaga harmoni yang nampak maupun yang tidak nampak. Sekala dan Niskala! Itulah mengapa masyarakat jawa akrab dengan berbagai ritual seperti sedekah bumi, sedekah laut, grebeg dan banyak ritual lainnya.
Pocong Kali Boyong, Mistis Tradisional vs Mesin Modern
Kamis, 29 Agustus 2019 - 00:27 WIB