Jaka Tarub sangat dihormati masyarakat Jawa. Dari keturunan Jaka Tarub inilah raja-raja Jawa (Mataram) terlahir sehingga namanya abadi tertulis dalam Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi adalah naskah sejarah Kesultanan Mataram.
Ada yang berpendapat, Kesultanan Mataram didirikan oleh keluarga petani bukan keluarga bangsawan. Dan demi mendapat legitimasi dan pengakuan dari rakyat Jawa, diciptakanlah tokoh-tokoh mitos yang serba istimewa sebagai leluhur raja-raja Mataram. Salah satunya kisah Jaka Tarub yang beristri bidadari cantik bernama Nawangwulan.
Tidak diketahui siapa nama asli Jaka Tarub, ataupun nama asli kedua orang tuanya. JAKA dalam bahasa Jawa artinya pemuda/laki-laki. TARUB artinya gubug. Dengan demikian Jaka Tarub sejatinya bukanlah nama namun simbol strata sosial masyarakat kelas bawah.
Sedangkan Nawangwulan adalah perempuan dari dalam benteng kerajaan Majapahit. Tentu saja ada jenjang bagai bumi dan langit/KaHyangan antara strata Jaka Tarub dengan Nawangwulan. Apalagi Nawangwulan sedemikian cantik dan memesona hingga disebut bidadari. Jadi, Kisah ini hanyalah simbol bagaimana kelas bawah/petani dianugerahi isteri cantik bagai bidadari. Dari sini dipercaya pula merawat anak “haram” raja dan justru malah melahirkan raja-raja Jawa.
Nama desa Widodaren pun simbol dari kata Widodari atau Bidadari. Begini kisahnya, Kitab kuno Sunan Tembayat 1443 Caka menceritakan ada seorang pemuda pengembara. Pemuda pengembara ini tiba di suatu desa di tengah hutan (kini desa Widodaren, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur). Di desa inilah dia bertemu seorang janda tua yang hidup di gubug/tarub yang sederhana.
Iba pada janda tua ini, pemuda pengembara ini pun tinggal dan bersedia menjadi anak angkat. Terus menyembunyikan identitasnya, masyarakat setempat kala itu kemudian menamainya Jaka Tarub. Sehari-hari pekerjaannya bertani dan berburu di hutan.
Tentu Jaka Tarub bukanlah sosok sembarangan hingga menyembunyikan identitasnya. Ada yang percaya bahwa Jaka Tarub adalah cucu Ki Ageng Kudus, seorang bijak berilmu tinggi. Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, Jaka Tarub menjadi pamong desa.
Namanya makin dikenal, apalagi kemampuannya menjadi empu pembuat keris pusaka bertuah. Kala itu negeri Majapahit sedang menjemput keruntuhannya. Kekuasaan negeri ada di tangan Prabu Brawijaya V yang bernama Bre Kertabhumi. Banyak kerajaan-kerajaan taklukan mulai menelikung Majapahit.
Salah satunya Kerajaan Blambangan. Utusan Raja Blambangan berhasil mencuri keris pusaka negeri yang dinamai Kiai Sengkelat. Dari banyak empu pembuat keris pusaka bertuah, nama Jaka Tarub disebut-sebut. Prabu Bravijaya V pun mempercayakan pembuatan keris kepada Jaka Tarub.
Keris hasil tempaan Jaka Tarub akhirnya jadi dan dinamai Kiai Segara Wedang. Keris inilah yang kemudian menggantikan Kiai Sengkelat sebagai pusaka negeri. Prabu Brawijaya V akhirnya menghadiahi nama yang lebih pantas yaitu Jaka Supa Anom sekaligus menghadiahi salah satu selirnya yang bernama Dewi Nawangwulan.
Dari pernikahan mereka lahirlah putri jelita Retno Nawangsih. Jaka Tarub yang sudah mendapat nama kehormatan Jaka Supa Anom menjadi pemuka di wilayah itu dan dimuliakan warganya dengan nama Ki Ageng Tarub. Lalu bagaimana kaitannya antara Ki Ageng Tarub dengan lahirnya raja-raja Mataram? Pada suatu hari Prabu Brawijaya V mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat Ki Ageng Tarub. Utusan itu bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya.
Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya V yang tidak diakui. Kemudian Bondan Kejawan diminta tinggal bersama di desa Widodaren.
Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya dinikahkan. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra, Ki Getas Pandawa. Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Selo, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam.
Trah Mataram Islam memiliki pengaruh dan hegemoni kuat di tanah Jawa sejak abad 17 silam.
Sumber: 1. Babad Tanah Jawi, 2007 (terj.), Narasi. 2. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Moedjianto, 1987, Kanisius. 3. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968), Slamet Muljana. 2005, LKIS 4. Kitab kuno Sunan Tembayat 1443 Caka