Komisaris Independen PT Krakatau Steel Roy Maningkas mengundurkan diri dari jabatannya, terkait kisruh proyek Blast Furnace (pengolahan biji besi menjadi logam besi panas dan produk hilir) yang menelan biaya sekitar Rp10 triliun.
newsplus.antvklik.com- Surat pengunduran Roy Maningkas Roy Maningkas dari jabatan Komisaris Independen PT. Krakatau Steel Tbk, sudah dilayangkan kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kamis (11/7/2019, bersamaan dengan surat dissenting opinion
(pendapat yang berbeda) soal proyek operasional Blast Furnace (pengolahan biji besi menjadi logam besi panas dan produk hilir).
"Alasan pengunduran diri saya karena banyak hal yang tidak benar dalam proyek tersebut. Proyek tidak masuk akal dan dipaksakan, berpotensi merugikan perusahaan," kata Roy Maningkas di kantor Kementerian BUMN, Selasa (23/7/2019).
Ia menjelaskan, sejak tiga tahun lalu dirinya sudah mengajukan pertimbangan ulang terkait proyek Blast Furnace karena dapat merugikan negara hingga USD714 juta atau senilai Rp10 triliun. Hal ini sudah diungkapkan Roy dalam surat dissentingopinion (pendapat yang berbeda), yang dilampirkan bersama surat pengunduran dirinya, disampaikan kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.
Dikatakan Roy, dirinya mengetahui alasan direksi mengoperasikan proyek tersebut agar tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), memenuhi kesepakatan dengan kontraktor Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC CERI) asal China, padahal bahan baku hanya untuk dua bulan.
“Sikap ketidaksetujuan saya terhadap dipaksakannya pengoperasian Blast Furnace yang telah menelan keuangan perusahaan (Krakatau Steel) sekitar Rp10 triliun. Sebab, pengoperasian dilakukan hanya untuk dua bulan. Kemudian distop dengan alasan agar tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan tidak ingin terkena sanksi material dari kontraktor. Bahan bakunya hanya tersedia dua bulan produksi,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengoperasian proyek BlastFurnace molor hingga 72 bulan, dari semestinya pada tahun 2011 silam. Akibatnya, terjadi kelebihan waktu mulai beroperasi. Investasi yang seharusnya Rp7 triliun, membengkak menjadi sekitar Rp10 triliun. Selain itu, harga pokok produksi yang lebih mahal, dapat merugikan perseroan hingga sebesar Rp1,3 triliun per tahun, jika proyek tetap dijalankan.
“Tidak adanya kepastian siapa yang bertanggung jawab, baik teknis maupun kerugian keuangan, jika dalam 1-3 tahun proyek dioperasikan lagi,” imbuhnya.
Roy Maningkas menilai potensi kerugian karena proyek dipaksakan yaitu harga pokok produksi (HPP) slab baja yang dihasilkan dari proyek ini, lebih mahal 82 dolar AS per ton jika dibandingkan dengan harga pasar.
"Jika produksi 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel bisa mencapai sekitar Rp1,3 triliun per tahun," ujarnya.
Ia juga menilai pengujian proyek Blash Furnace dipaksakan harus selesai dalam waktu dua bulan karena adanya permintaan Direksi Krakatau Steel. Alasannya, operasional hanya dua bulan sesuai dengan keterbatasan ketersediaan bahan baku.
Padahal menurut pendapat Dewan Komisaris Krakatau Steel, waktu pengujian proyek ini minimal enam bulan lamanya oleh konsultan independen karena fasilitas ini sensitif dari sisi kehandalan dan keamanan proyek.
Roy Maningkas berharap dengan pengunduran dirinya sebagai Komisaris Independen PT. Krakatau Steel Tbk, mendapat perhatian besar dari Kementerian BUMN agar persero tidak mengalami kerugian besar.
| Saiful Anwar | Jakarta |
Baca Juga :