Nyatanya bukan hanya aku yang merasa SBY punya kelebihan. Ibu juga mengatakan simpatinya pada pemuda Pacitan itu. “Dia santun dan dewasa sekali, “ kata Ibu yang ternyata sudah lama menyukai SBY.
Aku mendengar sambil sibuk meredakan perasaan yang aneh di dalam hati. Sejujurnya aku tidak bisa mengartikan apa makna degup aneh yang aku rasakan. Tapi bahwa aku kemudian merindukan pertemuan kembali dengan sosok jangkung itu benar adanya.
Ternyata aku tidak perlu berharap-harap, karena keesokan harinya, kembali SBY menghadapi Papi di rumah. Kali ini, kami bisa berbicang lebih lama dibandingkan sekedar perkenalan singkat seperti sehari sebelumnya. Perbincangan singkat itu meninggalkan kesan yang amat dalam.
Ketika kembali ke Jakarta, seluruh hatiku terarah pada dia, SBY. Tidak bisa dipungkiri lagi, aku dan SBY jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak tahu siapa yang lebih dulu suka, yang pasti tidak berapa lama setelah pertemuan di Magelang itu, surat-surat SBY mengalir deras padaku.
Dan di antaranya, akhirnya ia menyatakan cinta. Jadi begitulah kedekatan kami terjadi tanpa terduga. SBY tidak menyangka akan jatuh cinta kepada putri pemimpin akademinya.
Aku, apalagi, tidak menyangka akan jatuh hati pada pemuda yang jauh dari belahan Jakarta. Walau begitu, kami mengganggap ini sebagai fase yang wajar saja dalam kehidupan manusia. Kami tidak bersikap impulsif, apalagi sampai merencanakan sesuatu yang serius di depan nanti.
SBY masih harus menempuh pendidikan militernya, aku pun masih lama menyelesaikan kuliah sampai menjadi dokter. Kami menjalani hubungan cinta jarak jauh dengan santai saja.
"Saling berkirim surat menjadi ajang perekat hubungan kami. Setiap kali mendengar suara tukang pos mencemplungkan surat di kotak pos depan rumah, aku dengan tenaga terbaik langsung berlari secepat kilat ke luar. Surat-surat SBY selalu membuatku melayang."
Lewat surat ini kami bisa saling mencurahkan hidup. SBY menceritakan kondisi dan latar belakang hidup. SBY menceritakan tentang masa kecilnya. Ia lahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang sangat sederhana di Pacitan.
Ayahnya, Raden Soekotjo adalah seorang tentara dan menduduki jabatan sebagai Komandan Komando Rayon Militer (Danramil). Eyang Kotjo, demikian aku memanggil beliau, juga memiliki darah pesantren.
Sebuah Puisi Berjudul Flamboyan
SBY bukanlah seorang pemuda yang menghamburkan kata-kata cinta, tapi lebih menyukai ungkapan simbolik yang penuh makna. Lewat kalimat-kalimatnya yang santun, ia kerap mengungkapkan banyak filosofi kehidupan melalui puisi-puisinya.
Salah satu puisinya yang sangat mengesankan berjudul Flamboyan. Isinya tentang bagaimana perasaan seorang prajurit dibuat tersentuh oleh bunga flamboyan yang bermekaran di halaman kampus.
Saat itu, di halaman Akademi Militer Nasional, Magelang, memang ditumbuhi banyak pohon flamboyan. Aku tersenyum membacanya. Sempat menarik kesimpulan, jangan-jangan ini ada hubungannya denganku, sebab rumahku di Cijantung beralamat di Jalan Flamboyan.
Yang membuatku terkesan, SBY memanggilku dengan sebutan Jeng Ani. Buatku itu adalah panggilan personal yang sangat mesra dan indah. Aku sangat menikmati panggilan sayangnya itu.
Selanjutnya, SBY bahkan juga bertandang ke rumahku di Cijantung. Ia dengan alasan hendak mengirimkan surat titipan dari Papi dan Ibu, akhirnya bisa melihat rumah bersejarah kami. Sulit dipungkiri bahwa pada akhirnya cinta kami terus menguat dan kian menguat.
Kami tidak bisa lagi mengatakan bahwa hubungan asmara ini hanya relasi yang biasa-biasa saja. Makin hari, SBY makin memperlihatkan cahayanya. Aku merasakan keyakinan yang kokoh.
Rasanya, SBY yang akan aku pilih menjadi suami. Hubungan melalui surat pun bertambah gencar. Aku kian bersemangat menunggu hari libur kuliah agar bisa ke Magelang dan sebaliknya.