Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menolak berkomentar saat ditanya soal perkembangan penyelesaian pembayaran proyek gedung Mapolda Aceh yang mandek selama lebih dari 11 tahun.
newsplus.antvklik.com - Bungkamnya pejabat Kemenkeu itu terjadi usai Rapat Koordinasi lanjutan antara Deputi Penegakan Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Kementerian Keuangan bersama PT Elva Primandiri selaku kontraktor di Gedung A, kantor Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2019).
Sejumlah pejabat menghindari pertanyaan wartawan, terkait kemungkinan Kemenkeu membayar proyek terutang kepada PT Elva Primandiri, sebagaimana putusan Mahkamah Agung (MA).
Sementara Elva Waniza selaku pemilik PT Elva Primandiri mengaku pertemuan yang difasilitasi Kemenko Polhukam itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
"Pihak Kemenkeu melempar lagi masalah pembayaran pembangunan Mapolda Aceh ke pihak Polri. Padahal mereka tahu bahwa putusan PK itu pembayaran tanggung renteng Kemenkeu dan Polri. Kenapa dilempar lagi ke Polri?,"
tanya Elva.
Di lain pihak, Elva mengapresiasi upaya pihak Kemenko Polhukam yang memfasilitasi rapat antara pihaknya dengan Kemenkeu. Asisten Deputi Penegakan Hukum dan HAM Kemenko Polhukam yang memimpin rapat koordinasi, katanya meminta pihak Kemenkeu menyerahkan hasil rakor itu paling lambat pekan ini.
"Selanjutnya Kemenko Polhukam akan menyerahkan kembali hasil dua kali rakor ini ke Mensesneg," ujarnya.
Oleh sebab itu, Elva berhadap Presiden Joko Widodo dapat memperhatikan kasus yang merugikan pihaknya. Dirinya berharap Jokowi dapat turun tangan menyelesaikan masalah tunggakan pembayaran proyek Mapolda Aceh yang mandek sejak tahun 2007 silam.
"Kemenko Polhukam bukannya gagal, sudah memfasilitasi tetapi melihat jawaban dari Kemenkeu berbelit-belit padahal masyarakat perlu mendapat kepastian hukum makanya serahkan kembali ke Mensesneg. Harapan itu masih ada," terang Elva.
Jafaruddin Abdullah, kuasa hukum PT Elva Primandiri merasa alasan pihak Kemenkeu yang menyatakan masih akan melakukan koordinasi tidak masuk akal.
“Mau koordinasi apa lagi? Empat tingkat peradilan semuanya suara bulat bahwa Kemenkeu harus membayar kepada PT Elva Primandiri,” paparnya.
Langkah hukum yang dilakukan, kata Jafaruddin, sudah habis, sehingga Kemenkeu seharusnya menaati keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Pihaknya pun tengah mempertimbangkan melakukan langkah pidana, namun itu tentu tidak baik bagi citra pemerintahan.
Audiensi
Seperti diketahui sebelumnya, rakor yang difasilitasi Kemenko Polhukam pada Selasa (22/4/2019) ini merupakan kali kedua. Pada rakor pertama 4 April 2019 lalu, pihak Kemenkeu beralasan mereka yang hadir bukanlah pihak yang berkaitan langsung dengan kontraktor proyek pembangunan Mapolda Aceh. Hingga kini, perusahaan kontraktor yang membangun proyek Mapolda Aceh II itu belum juga mendapatkan pembayaran dari hasil pengerjaan pembangunan yang telah selesai dilakukan pada 2007 lalu sebesar Rp32.768.097.081. Elva mengeluhkan, dengan tidak dibayarkannya hak yang harus diterimanya sejak lebih dari 11 tahun yang lalu itu, dia harus menanggung kerugian cukup besar. Dia harus menalangi pihak pemasok bahan dan perbankan yang otomatis melakukan penagihan kepada dirinya selaku pihak kontraktor. Selain juga kesulitan membiayai operasional perusahaannya. Bahkan, dia sempat mendapatkan teror dari sejumlah pihak. Padahal, selaku kontraktor yang diberi mandat mengerjakan proyek pembangunan gedung pasca-bencana gempa dan tsunami di Aceh, PT Elva Primandiri sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Elva pun sudah berkali-kali melakukan upaya penagihan atas haknya tersebut, termasuk mendatangi langsung kantor Kemenkeu berulang kaliMenang
Seperti diketahui, PT Elva Primandiri telah memenangkan proses hukum perkara yang melibatkan Kemenkeu Republik Indonesia. Dalam putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan nomor perkara 582/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Tim, yang menghukum Kementerian Keuangan, yang dulu bernama Satuan Kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias (tergugat I) dan Polri (tergugat II) secara tanggung renteng membayar kewajibannya kepada PT Elva Primandiri sebesar Rp32.768.097.081. Putusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta nomor perkara 527/PDT/2013/PT.DKI. Bahkan, kembali diperkuat dengan terbitnya putusan Kasasi Mahkamah Agung nomor 2483 K/PDT/2014. Selanjutnya, upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh pihak tergugat bernomor perkara 601 PK/PDT/2017 kembali ditolak MA pada 19 Oktober 2017. Juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Timur sudah melakukan teguran (aanmaning) terhadap pihak tergugat untuk melaksanakan isi putusan. Pada saat pertemuan untuk terguran pertama pada 17 Oktober 2018, Ketua PN Jaktim sangat mengapresiasi itikad baik dari Kementerian Keuangan yang diwakili oleh kuasa hukumnya, yang menyatakan akan mematuhi putusan pengadilan, dan akan secara intens berkomunikasi dengan Elva Waniza selalu Direktur PT Elva Primandiri. Namun, teguran yang dilaksanakan pada 17 Oktober 2018 dan 13 Desember 2018 tersebut belum juga dilaksanakan. Padahal, Ketua PN Jaktim hanya memberikan batas waktu selama sebulan setelah aamaning pertama tanggal 17 Oktober 2018 agar Kemenkeu membayar sesuai isi putusan pengadilan. Pada 20 Desember 2018, Menkeu Sri Mulyani diminta datang ke PN Jakarta Timur untuk pertemuan annmaning (teguran). Namun, baik Kemenkeu atau perwakilannya tidak datang untuk yang ketiga kalinya. Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut hingga saat ini belum juga dijalankan oleh Kemenkeu. Elva lantas menyurati Presiden Joko Widodo dan permohonan Elva diapresiasi melalui surat yang dikeluarkan Kementerian Sekretariat Negara No B-72/Kemensetneg/D-1/HK 06.02/02/2019. Isi surat itu mengingatkan Kementerian Keuangan dan Polri sebagai pihak dalam perkara tersebut agar mengkoordinasikan perkara Elva dalam rangka memberikan kepastian hukum dan menjaga citra pemerintah taat hukum.Baca Juga :