Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Jawa Tengah, belum juga dipugar oleh Pemerintah Pusat meski telah terjadi sejumlah kerusakan.
newsplus.antvklik.com - Konflik internal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Jawa Tengah, hingga kini belum ada titik penyelesaian, hingga berdampak pada mandeknya sejumlah bantuan dari Pemerintah Pusat, untuk perbaikan fisik Keraton yang kondisinya memprihatinkan.
Pihak Keraton mendesak pemerintah agar segera melakukan langkah perbaikan fisik keraton, sebagai upaya melindungi dan melestarikan cagar budaya, seperti disampaikan Kanjeng Pangeran Arya Adipati (KPPA) Suro Agul Agul Begug Purnomosidi, selaku salah satu pejabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Harapan dirinya, menyusul pernyataan sikap Raja Keraton Paku Buwono XIII kepada Pemerintah Pusat agar segera melakukan perbaikan, sebagai upaya pelestarian benda cagar budaya, dan pihak Keraton menyerahkan semuanya kepada pemerintah dan tidak akan sedikit pun campur tangan pihak keraton.
Menurut Begug, saat ini fisik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalami banyak kerusakan, diantaranya keretakan pada dinding-dinding keraton, bahkan ada sebagian dinding yang rubuh.
“Selain dinding, atap-atap bangunan juga banyak yang bocor. Kayu-kayu mulai rapuh dimakan usia dan banyak lagi. Bahkan tempat-tempat penting seperti Sasana Narendra yang menjadi tempat tinggal Raja, juga perlu dilakukan perbaikan,”
katanya.
Konflik di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sudah berlangsung lama, sejak tahun 2004 silam, pasca meninggalnya Raja Pakoe Boewono XII pada tanggal 12 Juni 2004. Tak adanya permaisuri dan putra mahkota yang akan mewarisi tahta, membuat keraton yang berlokasi di pusat kota Solo itu, mengalami gonjang ganjing.
Raja Paku Buwono XII selama bertahta memiliki 6 istri selir, tanpa istri permaisuri. Dari keenam istri selir, Sang Raja memiliki 35 anak. Namun dari sebanyak itu, tak ada satu pun yang diangkat menjadi putra mahkota. Dalam tradisi dan adat Keraton Jawa, anak laki-laki tertua yang berhak menggantikan raja.
[caption id="attachment_193387" align="alignnone" width="300"]
KPAA Suro Agul Agul Begug Purnomosidi[/caption]
Krisis akan sosok pewaris Singgasana membuat genderang perebutan tahta di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ditabuh. Dua kubu yang bertikai yakni antara Hangabehi dan Tedjowulan yang berbeda ibu, saling mendeklarasikan diri sebagai Raja Paku Buwono XIII.
Pada 31 Agustus 2004, Hangabehi (kelahiran tahun 1948) putra tertua dari selir ketiga Raja yang didukung kerabat lainnya dari dalam keraton, mendeklarasikan diri sebagai Raja Paku Buwono XIII karena merasa paling berhak mewarisi tahta kerajaan menggantikan ayahnya.
Tiga bulan kemudian pada 9 November 2004, Tedjowulan (kelahiran tahun 1954) yang saat itu masih aktif sebagai anggota TNI berpangkat Letkol (Inf) menyatakan diri keluar dari keraton dan mengukuhkan dirinya sebagai Paku Buwono XIII, yakni di dalam Sasana Purnama, Kota Barat, Kelurahan Mangkubumen, Solo, yang berjarak sekitar 5 km dari keraton.
Pengukuhan Tedjowulan sebagai Raja, memang dilakukan di luar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, karena kubu Hangabehi menggembok pintu keraton dari dalam.
Sesuai adat yang ada di keraton dan
dhawuh (perintah) Sinuhun Paku Buwono XII, putra tertua dari selir manapun, yang berhak diangkat menjadi Raja.Hangabehi, putra tertua dari selir ketiga dinobatkan sebagai Raja dengan gelar KGPH Hangabehi oleh lembaga adat.
sejak adanya raja kembar itulah, konflik keluarga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terjadi hingga berlangsung sampai sekarang. Meskipun kini, konflik sudah bergeser kepentingan dari kubu yang berseteru.
Perseteruan ‘
Raja Kembar’ di Surakarta tahun 2012, pernah diupayakan rekonsiliasi oleh Walikota Solo, saat itu dijabat Joko Widodo (Jokowi) dan anggota DPR Mooryati Soedibyo di Jakarta. Hasilnya, kedua kubu sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.
[caption id="attachment_193385" align="alignnone" width="300"]
Salah satu sisi dinding Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang rusak.[/caption]
Hangabehi, putra tertua Paku Buwono XII tetap menjadi Raja. Sementara Tedjowulan, diangkat menjadi Mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.
Kendati sudah dilakukan rekonsiliasi, tak lantas membuat perselisihan di keraton selesai karena selama 3 tahun menjadi Raja, Hangabehi dianggap melakukan sejumlah pelanggaran berat mencoreng nama keraton, berupa tidak pernah menjalankan atau mengikuti upacara adat, mengangkat pemberontak menjadi pejabat dan melakukan tindak asusila, sehingga lembaga adat keraton yang dikuasai para adik-adik raja, memberhentikan Sang Raja. Sebagai gantinya, mengangkat GPH Puger sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Raja.
Meski telah dipecat, Hangabehi tetap tak bergeming, tak mau melepaskan jabatannya sebagai Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Lalu bersama Tedjowulan dan kerabat lainnya seperti GPH Suryo Wicaksono, GPH Benowo dan GPH Dipokusumo, Hangabehi yang tersingkir dari keraton dan menempati Sasana Narendra, menggalang kekuatan untuk melawan Lembaga Dewan Adat yang menguasai keraton.
Praktis selama perpecahan itu, Hangabehi yang sudah bersatu dengan Tedjowulan, tak bisa bertahta di Sasana Sewaka. Dia juga selama bertahun-tahun tak bisa mengikuti upacara adat keraton seperti Kirab 1 Suro dan Tingalan Dalem Jumenengan atau upacara Peringatan Naik Tahta.
Lembaga Dewan Adat yang didukung oleh GKR Wandansari, GKRAY Koes Moertiyah, GKR Retno Dumilah, GKR Indriyah dan GKR Timur Rumbai Kusumadewayanti (putri Paku Buwono XIII) dan lainnya, melarang raja dan pendukungnya memasuki keraton. Sejumlah akses Raja menuju Gedung Utama Keraton dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.
Menjelang ulang tahun ke 13 naik tahta Paku Buwono XIII, suasana keraton kembali memanas. Di satu sisi, kubu Lembaga Dewan Adat yang dikomandani oleh GKR Wandansari ingin tetap menjalankan upacara adat Jumenengan, mesti tanpa kehadiran Raja. Sedangkan kubu lainnya, Paku Buwono XIII Hangabehi ingin melaksanakan ulang tahun naik tahta atau Tingalan Jumenengan di Sasana Sewaka tempat singgasana raja.
Upaya perdamaian untuk mempersatukan kedua kubu masih sulit dilakukan. Utusan Presiden Jokowi yakni Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Jenderal (Purn) Subagyo HS, masih melakukan upaya rekonsiliasi. Namun upaya kedua utusan tersebut, baru pada tataran menampung aspirasi kedua kubu.
Saat ini, kubu Raja mengklaim sudah memegang surat perdamaian yang disetujui bersama. Namun demikian sampai sekarang, belum terlihat upaya bersatu antara kedua kubu. Masing-masing masih terus melakukan kegiatan tradisi keraton. Masih terjadinya konflik ini, pemerintah kesulitan untuk mngucurkan dana yang diperuntukkan untuk pelaksanaan tradisi maupun perbaikan keraton yang rusak.
(Effendy Rois | Solo)