Kisah Mbak Tutut Menjelang Wafatnya Pak Harto

pak harto
pak harto (Foto : )
Wuk
, Bapak capai, mau istirahat dulu.”Saya peluk Bapak erat. Mencium tangannya dan segera saya betulkan selimut Beliau. Bapak tidur dengan wajah yang tenang sekali. Di dalam hati, saya berdoa, “Ya Allah, beri saya kekuatan dan kemudahan untuk melaksanakan keinginan Bapak, aamiin.”Sejujurnya saya tidak dapat berpikir dengan jernih saat itu. Hanya doa pada Sang Khalik, untuk kesembuhan Bapak kami tercinta.Sore harinya, Bapak agak drop kesehatannya. Tim dokter bertanya pada Bapak, “Bapak, kami akan memeriksa Bapak ya.”Bapak menjawab, “Tanyakan pada Tutut saja.”Para dokter agak bingung lalu menyampaikan pada saya. Saya sampaikan, “Ayo saya temani periksa Bapak.”Pada malam harinya, kebetulan saya dan Mamiek jaga Bapak. Bapak kelihatan drop sekali. Tapi setiap kami tanyakan, Bapak ada yang sakit, Bapak hanya geleng kepala.Sampai pagi akhirnya Bapak tertidur dengan tenang. Subuh, saya dan Mamiek mencoba tidur sebentar. Namun, baru sekejap kami tidur sudah dibangunkan suster bahwa Bapak kritis. Kami berdua ke kamar Bapak. Bapak, ditemani Sigit, tampak tertidur dengan tenang tapi sudah tidak membuka mata. Kami putuskan memanggil semua keluarga. Sesampainya semua di rumah sakit, satu persatu saya minta semua cium tangan Bapak, sambil saya dan adik-adik membimbing Bapak, membisikkan di telinga Bapak, untuk istighfar dan bertasbih. Salah seorang dari perawat Bapak, ikut membisikkan terus kalam Illahi, sampai terhenti napas Bapak.Bapak tampak tenang sekali. Tidak ada sedikit pun raut kesakitan di wajah Bapak. Saya rasa semua keluarga, sudah hadir semua. Bapak semakin tenang helaan napasnya, hanya tidak membuka mata. Kami berdoa semoga keajaiban terjadi, sehingga Bapak diberi kesehatan. Saat menjelang siang, datang adik Bapak, Ibu Bries Soehardjo, yang baru saja menjalani operasi by pass jantung di Singapura, dan Bu Bries tidak pernah diberi tahu bahwa Bapak dalam keadaan kritis. Kami ajak masuk, kami bisikkan bahwa Bu Bries sudah datang. Rupanya Bapak menunggu semua keluarga berkumpul.Siang itu pukul 13.10, 27 Januari 2008, bertepatan dengan  18 Muharam dalam kalender Hijriyah, Bapak kami tercinta kembali menghadap Sang Pencipta, sesuai keinginan Bapak, dan takdir Illahi.Saya tidak pernah mengira bahwa kemarin adalah petuah terakhir yang Bapak berikan pada saya. Sesungguhnya apa yang Allah kehendaki, itulah yang akan terjadi. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan kehendak-Nya.“Bapak, guratan cinta kami, menghantar doa kami, menyertai Bapak dan Ibu. Semoga dimaafkan segala kesalahannya, diampuni segala dosanya, diterima semua amal ibadahnya, dimasukkan surga-Nya bersama orang-orang yang Allah cintai sebelum kami. Aamiin … Al Fatihah.”“Bapak, apa pun kata orang tentang Bapak, di hati kami, Bapak telah melakukan dengan sepenuh keyakinan, kearifan, dan keteladanan. Bapak antarkan Bangsa Indonesia tegak berdiri sama tinggi di tengah-tengah bangsa lain, yang terlebih dulu maju dan sejahtera. Bapak bawa bangsa ini mengenal kemakmuran, ketenangan, dan kesejahteraan dengan seluruh pengabdian Bapak yang tak berujung, hingga akhir hayat Bapak. Allah lebih tahu yang Bapak lakukan daripada kami yang masih hidup di dunia.““
We all love you, Bapak dan Ibu sayang….”Jakarta 27 September 2008