Catatan Ilham Bintang: Bamed Medan, Jamuan Masakan Tokoh Melayu, dan Sosok Ideal Ketum PWI Pusat

Suasana di Bamed Medan (Foto : Istimewa)



Farianda membawa  satu karung Durian Ucok Medan yang terkenal itu. Dilihat dari jumlah durian yang dibawanya, kemungkinan Farianda salah hitung.  Dia lupa, yang hadir dalam jamuan kebanyakan sudah berusia lanjut. Sehingga lebih separuh jumlah durian yang tersisa belum dibuka hingga acara berakhir.

Dua Golongan Tak Boleh Dipilih Jadi Pemimpin

Anda bisa menebak sendiri, forum  bincang-bincang yang diikuti mayoritas wartawan, pasti seru.  Topik perbincangan aneka rupa. Membahas mulai dari urusan Lampu Pocong Kota Medan seharga Rp25 miliar yang sudah sebulan ini jadi olok-olokan Netizen; kisah- kisah humor orang Medan; dan soal kandidasi di Kongres PWI yang akan berlangsung akhir September ini di Bandung.

Sulben dan Ronny yang memantik topik perbincangan itu. Direspons Asro Kamal Rokan, yang sepuluh tahun memang telah menjadi anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Diskusi semakin seru, saat masuk urusan parameter sosok ideal untuk memimpin PWI Pusat. Kandidasi Ketum PWI priode baru memang sudah tiga tahun terakhir menjadi perdebatan sengit.

Priode yang berjalan ini (2018-2023) yang termasuk saya di dalamnya, dinilai banyak angggota, gagal menjaga marwah PWI.  Paling banyak masalah.

Karena itu sangat sulit mendapatkan calon yang cocok dan ideal menjadi Ketum PWI Pusat. Apalagi dengan amanah mengembalikan marwah organisasi.

Mirip dengan kesulitan bangsa Indonesia memilih Presiden dalam Pilpres 2024. Selain persoalan politik uang yang terang benderang dan menjadi halal mewarnai setiap Pemilu, juga yang mencemaskan tren  saling mengenyahkan atau menyingkirkan lawan bahkan kawan dalam politik.

Turut memperparah  soal "attitude" kandidat yang pukul rata "beyond help" atau "kagak ketulungan" dalam jejak digitalnya masing- masing.

Ketika Farianda mendesak saya mengelaborasi kandidasi Ketum PWI Pusat, saya memilih menghindar. Saya buat alasan simpel, waktunya masih cukup lama, kandidat yang ada masih sangat mudah untuk berubah.  Saya menjanjikan akan menerangkan dalam forum khusus dan terbatas.

Malam itu saya hanya menyampaikan pesan normatif. Sebenarnya, pesan normatif itu semua kita sudah tahu. Pesan yang diturunkan leluhur kita sejak dulu kala yang dalilnya dari hadist Nabi. Yaitu: ada dua golongan yang tidak boleh dipilih sebagai pemimpin. Yang pertama,  orang yang tidak mau. Yang kedua, orang yang terlalu mau.  
Kedua golongan itu niscaya hanya akan menimbulkan kerusakan. Orang yang tidak mau, pasti tidak akan bisa dimintai mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan. Golongan kedua, akan menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan dan kepentingannya semata.

Dengan mengemukakan itu, saya pun bisa segera membebaskan diri dari serangan provokasi dua wartawan senior Medan, Ronny Simon dan Sulben Siagian.

Farianda tampak puas. Dia menjabat tangan saya. Sekaligus menagih forum terbatas segara direalisasi. Sebagai Ketua PWI Sumatera Utara Farianda sangat berkepentingan.
Perannya memang cukup penting dalam Kongres PWI nanti. Punya kontribusi suara sekitar 7 % untuk Ketum PWI terpilih.

Salah memilih, turut pula memikul risiko bagi upaya menjaga marwah organisasi wartawan tertua dan terbesar di Indonesia. Juga dosanya, tentu saja.