Antv – Tepat di Ramadan 1444 Hijriyah atau 2023 Masehi ini, Masjid Jami Al Anwar yang menjadi masjid tertua di Provinsi Lampung telah menginjak usia 184 tahun.
Masjid yang terletak di Jalan Laksamana Malahayati, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Telukbetung Selatan ini diketahui dibangun tahun 1839.
Masjid dengan luas 6.500 meter ini menjadi satu di antara bukti sejarah jejak penyebaran agama Islam di Provinsi Lampung.
Hal itu diketahui dari peninggalan kisah dan situs bersejarah di dalamnya.
Masjid Jami Al-Anwar memiliki koleksi kitab kuning dan buku-buku pengetahuan berbahasa Belanda berusia ratusan tahun yang hingga kini masih terjaga.
Meski telah termakan usia, kitab kuning berbagai bahasa dan buku-buku bersejarah tersebut masih tersimpan rapi di perpustakaan masjid.
Awalnya, masjid Jami Al-Anwar hanya berupa surau atau langgar kecil pada tahun 1839.
Kemudian harus direnovasi, karena mengalami kerusakan berat saat Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda meletus dahsyat pada tahun 1883.
Rusdi (53), salah seorang pengurus Masjid Jami Al-Anwar mengatakan, masjid tertua di Lampung ini sudah berdiri sebelum Gunung Krakatau meletus pada 26-27 Agustus 1883.
"Masjid ini sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus. Gunung Krakatau kan meletusnya tahun 1883, masjid ini sudah ada sejak tahun 1839, tetapi saat itu awalnya masih berbentuk surau," kata Rusdi, Rabu (29/3/2023).
Rusdi menceritakan, pada era tahun 1883, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang Lelang yang berada tidak jauh dari Masjid Jami Al-Anwar merupakan pelabuhan besar di pesisir Provinsi Lampung.
Para saudagar (pedagang) dari sejumlah daerah di Nusantara yang beragama islam menjadikan surau atau langgar yang menjadi cikal bakal masjid Jami Al-Anwar untuk berkumpul dan beribadah.
Namun, surau tersebut rusak parah akibat terkena dampak letusan Gunung Krakatau.
Lima tahun kemudian, seorang saudagar asal Sulawesi Selatan dari suku Bugis bernama Daeng Suwiji membangun kembali surau itu menjadi masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid Jami Al-Anwar.
"Awal renovasi dilakukan lima tahun setelah Gunung Krakatau meletus, sekitar 1888, Daeng Sawiji bersama ulama dan masyarakat mendirikan masjid yang lebih permanen pada tahun itu, lalu dilanjutkan renovasi, termasuk yang dilakukan pada 1972, dan terakhir pada 2015," ucap Rusdi.
Rusdi mengungkapkan, saat renovasi pada tahun 1888 menjadi masjid yang permanen, enam tiang surau yang rusak tetap dipertahankan yang saat ini telah dibungkus dengan pilar beton. Enam tiang tersebut menggambarkan Rukun Iman.
"Pada 1972, renovasi dilakukan kembali dengan memperluas bangunan menjadi lebih besar karena jamaah yang datang saat salat Jumat dan hari-hari besar semakin banyak jumlahnya. Terakhir, perbaikan dan renovasi masjid ini dilakukan sekitar 2015 sampai 2016, yang diganti atap masjid, awalnya genting biasa menjadi seng baja," ungkapnya.
Setelah itu, masjid tersebut dinamakan Masjid Al-Anwar yang memiliki arti bercahaya.
Nama tersebut diharapkan masjid tersebut dapat menjadi sumber cahaya kehidupan yang dapat menerangi umat. Nama masjid itulah yang dipakai sampai sekarang.
Lebih lanjut Rusdi menceritakan, meskipun telah mengalami beberapa kali renovasi.
Ada beberapa bagian yang tetap dipertahankan di masjid tersebut, seperti meriam peninggalan Belanda di depan masjid, bedug hadiah dari Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang tetap disimpan sampai sekarang.
Serta kitab-kitab peninggalan sejak dahulu dari berbagai bahasa yang disimpan di perpustakaan masjid.
"Yang paling dipertahankan di masjid ini adalah meriam Belanda di depan yang masih ada sampai sekarang, karena dulu kan belum ada sirine masjid seperti zaman sekarang, itu digunakan buat peringatan buka puasa. Kalau sekarang hanya dibuat pajangan. Lalu, ada bedug kecil, dari 1988 dan sumur tua sedalam 20 meter yang tetap digunakan sampai saat ini," ucap Rusdi.
Rusdi mengungkapkan, Masjid Jami Al-Anwar bukan hanya menjadi masjid tertua di Lampung dan tempat bagi masyarakat untuk belajar mengaji sejak zaman dahulu. Tetapi juga menjadi markas para pejuang kemerdekaan di Lampung.
Masjid Jami Al-Anwar ini selalu menjadi tempat para pejuang kemerdekaan bersama dengan para ulama mengatur strategi perjuangan seusai shalat dan mengaji.
"Selama masa penjajahan kolonial, masjid ini sangat berperan penting. Masjid Jami Al-Anwar menjadi lokasi untuk berkumpul dan berdiskusi oleh para ulama dan masyarakat untuk menyusun strategi perjuangan," tandas Rusdi.