Antv – Masalah gangguan jiwa merupakan masalah yang kerap ditemui di berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk dalam permasalahan Sistem Hukum di Tanah Air.
Sebagai kelompok yang rentan, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) atau Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) kerap mengalami diskriminasi dan hak-haknya di mata hukum tidak terpenuhi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan pemenuhan hak ODGJ dan ODMK di mata hukum. Salah satunya adalah karena masyarakat dan penegak hukum belum sepenuhnya mengenal spektrum masalah kesehatan jiwa.
Terlebih, hingga kini masih ada banyak sekali ODGJ dan ODMK yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan.
Menurut data, 1 dari 5 orang yang menjalani proses hukum sebenarnya mengalami masalah kesehatan jiwa yang berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh demi mendapatkan keadilan.
Masalah kesehatan jiwa yang ditemukan pun sangat beragam, mulai dari gangguan yang menyebabkan seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan, gangguan suasana perasaan yang menetap seperti depresi, gangguan mengatur perilaku seperti fase mania dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), hingga perbedaan dalam cara menerima dan merespons informasi seperti autisme dan disabilitas intelektual.
Gangguan jiwa sebenarnya tidak serta merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, tetapi memang diperlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal.
Psikiatri forensik merupakan cabang subspesialistik dari psikiatri yang menjawab kebutuhan sistem hukum untuk menganalisis kondisi psikologis seseorang dan memberikan penjelasan pada pihak yang berwenang, agar menjadi pertimbangan saat pengambilan keputusan di ranah hukum. Peran psikiatri forensik dalam masalah hukum mencakup pada hukum pidana, perdata dan administrasi.
Sebagai contoh, pada kasus seorang ibu tunggal yang mengalami gangguan depresi hingga mendengar suara-suara halusinasi yang membuatnya membunuh ketiga orang anaknya.
Psikiater forensik akan menjelaskan bagaimana gangguan depresi yang sedemikian berat akan membuat ibu tersebut tidak bisa berpikir logis sesuai realita sehingga tidak bisa mengarahkan perilakunya.
Hal itu dapat membantu dalam pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekadar hukum penjara.
“Tidak semua gangguan jiwa dapat dideteksi dengan mudah karena sebenarnya hanya sedikit sekali gangguan jiwa yang memenuhi stereotipe di mata awam, seperti yang berbicara sendiri, berhalusinasi, atau berperilaku kacau," jelas dr. Natalia Widiasih Raharjanti, SpKJ(K), MPdKed dalam webinar pada Kamis, 8 Desember 2022.
Sebaliknya, menurut dia mayoritas akan terlihat seperti orang biasa tanpa ada perubahan yang mencolok bila hanya dilihat sekilas, seperti pada gangguan depresi dan kecemasan—dua gangguan jiwa yang paling lazim ditemukan di masyarakat.
"Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka sedang berhadapan dengan ODGJ/ ODMK. Kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis dan situasional,” tuturnya.
Selain itu, masalah lain yang saat ini menjadi fokus utama adalah terbatasnya jumlah layanan psikiatri forensik di Indonesia serta masih berada dalam proses perkembangan sehingga belum sepenuhnya merata di Indonesia.
“Jumlah konsultan psikiatri forensik masih sangat terbatas—hanya 8 orang yang masih aktif memberikan layanan psikiatri forensik—sehingga mayoritas pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum," imbuhnya.
"Namun, penelitian berskala nasional menunjukkan bahwa lebih dari 60% psikiater Indonesia memilih untuk merujuk kasus ke konsultan karena mempersepsikan kasus psikiatri forensik sebagai sesuatu yang sulit dan berbahaya,” paparnya lebih lanjut.
Aturan yang berkaitan dengan ODGJ/ ODMK dalam sistem hukum saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi pendekatan restorative justice terkini, termasuk dalam menentukan batasan-batasan psikologis yang dimaksud dalam aturan dan juga tindak lanjut yang berbasis bukti ilmiah sehingga psikiater kerap menemukan jalan buntu dalam menangani kasus.
Kasus psikiatri forensik juga masih identik dengan tingginya risiko konflik medikolegal atau tuntutan dari pihak-pihak yang terlibat, karena memang dalam kasus hukum akan selalu ada pihak-pihak yang berseberangan. Terlebih lagi, dengan pemanfaatan media sosial masa kini, konflik medikolegal sering meluber ke ranah umum dan mengundang tekanan dari pihak-pihak eksternal.
Oleh sebab itu, tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia meluncurkan pedoman Kemampuan Berpikir Analisis Psikomedikolegal (KBAP) dan modul pelatihannya. Pedoman ini merupakan sebuah inovasi untuk membantu psikiater melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien.
KBAP merupakan panduan yang dapat membantu tercapainya Pemeriksaan Kecakapan Mental yang berkualitas sebagai salah satu cara untuk memenuhi hak ODGJ/ODMK dalam sistem hukum di Indonesia.
“Untuk menjawab tantangan tersebut dan meningkatkan kualitas layanan psikiatri forensik, KBAP sebagai sebuah inovasi diluncurkan untuk membantu psikiater untuk melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien, analisis yang tajam, dan menyampaikan dengan lugas baik secara lisan ataupun tertulis." kata dia.
"KBAP disusun dengan melibatkan pakar-pakar lintas disiplin dari kedokteran (psikiatri, psikiatri forensik, kedokteran forensik-medikolegal, pendidikan kedokteran), psikologi forensik, dan hukum (akademisi, pengacara, jaksa, hakim) sehingga mampu menjawab kebutuhan konkrit sesuai konteks dan praktik di lapangan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, KBAP mencakup pedoman seluruh rangkaian pemeriksaan, mulai dari persiapan, pengumpulan data dan analisis, penulisan laporan, dan penyampaian keterangan di sidang sehingga dapat menjadi panduan yang utuh bagi psikiater dalam melakukan layanan psikiatri forensik.
KBAP tidak hanya menguraikan apa saja yang perlu dilakukan oleh psikiater, tetapi juga memberikan gambaran kepada pihak penegak hukum mengenai hal-hal yang perlu ditelaah dan dipertimbangkan dalam kasus hukum yang melibatkan ODGJ/ODMK.
Pedoman KBAP telah dilatih pada psikiater secara daring. Pada akhir pelatihan, modul ini terbukti membantu psikiater dalam mengorganisasi pemeriksaan, mempertajam analisis, dan menjaga objektivitas mereka.
Selain itu, mereka juga lebih mampu menelaah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi psikologis ODGJ/ODMK dan membutuhkan perhatian khusus dari pihak yang berwenang.
“Hadirnya pedoman dan pelatihan KBAP diharapkan menjadi sebuah langkah kecil yang berdampak besar dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak ODGJ/ODMK, khususnya yang berhadapan dengan hukum,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Fajri Nursyamsi SH, MH. Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan bahwa kondisi kejiwaan menjadi pertimbangan dalam proses pemeriksaan.
“Kodisi kejiwaan seorang tersangka tindak pidana menjadi salah satu pertimbangan dalam melanjutkan proses pemeriksaan, tetapi kondisi itu tidak serta merta menjadikan tersangka dapat diebaskan dari hukuman. Penilaian harus dilakukan kasus per kasus dan orang per orang, tidak dapat digeneralisasi,” tuturnya.
Oleh karenanya, aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal, yaitu pertama, kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak.
Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik, dan informasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.