Sebaliknya, menurut dia mayoritas akan terlihat seperti orang biasa tanpa ada perubahan yang mencolok bila hanya dilihat sekilas, seperti pada gangguan depresi dan kecemasan—dua gangguan jiwa yang paling lazim ditemukan di masyarakat.
"Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka sedang berhadapan dengan ODGJ/ ODMK. Kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis dan situasional,” tuturnya.
Selain itu, masalah lain yang saat ini menjadi fokus utama adalah terbatasnya jumlah layanan psikiatri forensik di Indonesia serta masih berada dalam proses perkembangan sehingga belum sepenuhnya merata di Indonesia.
“Jumlah konsultan psikiatri forensik masih sangat terbatas—hanya 8 orang yang masih aktif memberikan layanan psikiatri forensik—sehingga mayoritas pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum," imbuhnya.
"Namun, penelitian berskala nasional menunjukkan bahwa lebih dari 60% psikiater Indonesia memilih untuk merujuk kasus ke konsultan karena mempersepsikan kasus psikiatri forensik sebagai sesuatu yang sulit dan berbahaya,” paparnya lebih lanjut.
Aturan yang berkaitan dengan ODGJ/ ODMK dalam sistem hukum saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi pendekatan restorative justice terkini, termasuk dalam menentukan batasan-batasan psikologis yang dimaksud dalam aturan dan juga tindak lanjut yang berbasis bukti ilmiah sehingga psikiater kerap menemukan jalan buntu dalam menangani kasus.
Kasus psikiatri forensik juga masih identik dengan tingginya risiko konflik medikolegal atau tuntutan dari pihak-pihak yang terlibat, karena memang dalam kasus hukum akan selalu ada pihak-pihak yang berseberangan. Terlebih lagi, dengan pemanfaatan media sosial masa kini, konflik medikolegal sering meluber ke ranah umum dan mengundang tekanan dari pihak-pihak eksternal.