Indahnya Masjid Agung Lumpur di Kota Tua Djenné

Masjid Agung Djenné, Mali, Afrika (1907) (Foto : photo: herr_hartmann, CC BY-NC 2.0)

Antv – Keberadaan masjid tentunya memiliki nilai penting dalam kehidupan masyarakat Muslim. Tidak hanya dijadikan tempat ibadah shalat saja, tetapi dapat juga sebagai wadah kegiatan islamiah lainnya, seperti belajar membaca Al-Quran, kajian, hingga wisata religi.

Jadi, tak ayal selain mengandung unsur agama yang kuat, kini banyak masjid juga didirikan mengandung memiliki nilai arsitektur unik.

Seperti di Wilyah Farmantala, kota tua Djenné, Mopti, Republik Mali, Afrika Barat, terdapat sebuah masjid unik yang seluruh bangunannya terbuat dari tanah cair (lumpur), masjid ini diberi nama Masjid Agung Djenné memiliki struktur bangunan yang memikat dan langsung memicu imajinasi.

Masjid dengan tinggi hampir 20 meter dan dibangun di atas lahan sepanjang 91 meter, bangunan ini adalah bangunan berbahan baku lumpur terbesar di dunia, dan merupakan salah satu contoh terbaik arsitektur Sudano-Sahel, gaya bangunan di wilayah setempat yang memiliki ciri khas plesteran batako dan perancah kayu. Masjid raksasa itu tanpa diragukan lagi menjadi pusat kehidupan kota Djenné yang dilindungi oleh Unesco.

Berdiri di dataran antara sungai Niger dan Bani, masjid yang dibangun pertama kali pada 1240 M oleh penguasa Djene, Sultan Koii Kunboro, ini awalnya adalah sebuah istana.

Setelah ia memeluk Islam, istana ini kemudian dialihfungsikan menjadi masjid. Untuk ukuran Afrika ketika itu, bangunan tersebut dapat dikatakan sangatlah mewah. Kesan tersebut seperti yang disampaikan oleh penguasa Djene, Syekh Amadou, pada awal abad ke-19.

 

 

Restorasi Masjid Agung Djenné. (Foto : Félix Dubois, Timbuctoo the Mysterious (London: William Heinemann, 1897), hal. 157)

 

 

Di tangan Syekh Amadou pulalah, masjid yang 99 persen terbuat dari tanah liat ini mengalami beberapa kali renovasi, seperti renovasi pada 1830 M lantaran bangunan pertama sudah lapuh dan runtuh. Sedangkan, bangunan ketiga dilakukan oleh para saudagar setempat pada 1906.

Dinding Masjid yang dibangun di atas tanah seluas 5.625 meter persegi ini terbuat dari bata lumpur yang dijemur di bawah matahari (disebut ferey), sedangkan bagian luarnya diplester dengan lumpur yang lembut. Mihrabnya dimahkotai dengan tiga menara setinggi 11 meter dan menonjol di atas dinding utama. Setiap menara pun berisi tangga spiral yang mengarah ke atap dan di atas puncak menara berbentuk kerucut telur burung unta, yang dianggap sebagai simbol kemurnian dan kesuburan.

Ruangan terbesar di Masjid Agung Djenné mampu menampung 3.000 jamaah meski tidak semua lantai beralaskan ubin. Masjid ini memiliki beberapa ruang besar dan banyak koridor, dipisahkan oleh kolom. Satu setengah dari masjid adalah ruang doa terbuka yang lainnya ditutupi dengan atap yang didukung oleh 90 pilar kayu.

Salah satu keunikan dari Masjid Agung Djenné ini ialah salah satu adat budaya warga Djenné merekonstruksi bangunan masjid dengan menggunakan lumpur setiap bulan April dalam acara yang digelar selama satu hari, yang disebut Crépissage (memasang plester). Sebab, struktur bangunan masjid membutuhkan penguatan setiap tahunnya, sebelum musim yang biasa turun pada Bulan Juli dan Agustus. Kearifan budaya yang luar biasa ini memastikan bahwa masjid akan tetap bertahan selama musim hujan, meskipun bentuknya sedikit berubah setiap tahun.