Antara Sepak Bola, Hukum dan Filsafat

Antara Sepak bola, Hukum dan Filsafat (Foto : Ilustrasi)

AntvSepak Bola, Hukum dan Filsafat menggoda pikiran. Ada banyak pertanyaan yang dapat dimunculkan dari ketiga entitas tersebut. Adakah kesamaan yang dapat ditarik dan ditemukan dari ketiganya?

Apakah ketiganya merupakan satu rangkaian? Ataukah terpisah satu dengan lainnya? Ataukah dipisahkan di satu momen dan disatukan di momen lain? Apakah urutannya sudah tepat?

Dengan memunculkan berbagai pertanyaan, otak akan dirangsang dan dipaksa untuk mengeluarkan pikiran untuk memberikan jawaban. Setiap manusia secara natural mampu mendayagunakan akal pikirannya (Faiz, 2022).

Satu atau dua pertanyaan dapat disimulasikan. Jawaban dapat dituliskan sebagai berikut:

Sepak bola adalah olah raga terpopuler di jagat ini, dimainkan oleh sebelas melawan sebelas di lapangan. Segala teknik, taktik dapat dikeluarkan sepanjang dibekali dengan fisik yang mumpuni dan daya pikir yang bagus pada pemain.

Kecerdasan seorang pemain terlihat di lapangan. Kecepatan berpikir dan pengambilan keputusan merupakan suatu keniscayaan bagi pemain sepak bola untuk memenangi pertandingan.

Hukum adalah tatanan pola sikap tindak mengenai apa yang diperbolehkan, apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang yang dibagi dalam hak dan kewajiban (Soekanto, Purbacaraka, 1993). Ruang waktu dan kehidupan semua orang terikat pada kesepakatan itu. Dengan hukumlah kedamaian ditegakan (Purbacaraka, Soekanto, 1982). Masyarakatlah yang menjadi aktor dalam penegakan hukum. Kepatuhan menunjukkan ketinggian peradaban dan penghormatan pada hukum.

Filsafat adalah ilmu bagi segala ilmu yang dengannya seseorang dapat menguak fenomena atau menjawab sesuatu yang “ada” secara menyeluruh (Suriasumantri, 1989). Cara berpikir filsafati membantu untuk memahami suatu yang “ada.” Berpikir mengenai hakikat akan membawa pikiran pada pemahaman mengenai yang “ada.”

Berpikir mengenai bagaimana sesuatu itu “ada” atau menjadi “ada” membantu memahami suatu itu benar dan sebagaimana adanya. Berpikir mengenai tujuannya “adanya sesuatu” membantu untuk mengerti keberadaannya pada ruang dan waktu kehidupan. Filsafat adalah soal kritik terhadap jawaban seadanya sekaligus usaha mencari jawaban yang benar (Suseno,1991).

Jawaban lainnya pun dapat diproduksi. Sepak bola adalah permainan prestasi dengan segala kemegahan dan kemungkinan dari ketidakmungkinan. Jutaan anak di dunia bermimpi untuk menjadi Diego Armando Maradona, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Kylian Mbappe, Erling Halaand untuk menyebut beberapa nama pesepakbola tersohor. Sepak bola merupakan satu peluang terbaik untuk melepaskan diri dari kemiskinan, kekalahan dalam status sosial ekonomi, sekaligus menikmati hidup dalam pengertian superlatif yang tersedia. Tetapi sepak bola pula yang menggambarkan peradaban suatu masyarakat.

Dalam beberapa peristiwa, penonton sepak bola adalah kerumunan yang tidak memiliki identitas akal sehat, kemudian tidak dapat terkendali dan kehilangan kesadaran individualistik, tidak lagi berbelas kasihan terhadap sesama, melainkan melampiaskan amarah yang absurd. Dalam hal demikian, pada peristiwa sepak bola yang sesungguhnya adalah hiburan, tetapi ketika terjadi pengrusakan barang dan bahkan jiwa pun dihancurkan, maka tidak ada sarana lain, kecuali hukum sebagai ultimum remedium. Dalam keadaan normal pun hukum dibutuhkan sepak bola.

Perjanjian antara pemain dengan klub, perjanjian klub dengan asosiasi, perjanjian klub dengan pengelola liga, perjanjian klub dan atau pemain dengan sponsor (Siekmann, Soek, 2011) dan masih banyak lainnya.

Hukum merupakan penjaga kedamaian dalam peradaban sepak bola. Tidak hanya tertuju pada pemegang saham persepakbolaan seperti pemain, pengurus, wasit, tetapi juga supporter, masyarakat umum, negara.

Albert Camus (1913-1960) tidak sedang membesar-besarkan ketika menyatakan soal moralitas dan kewajiban sepak bola dari mana ia belajar dan memahami kehidupan. Sepak bola menempatkan moralitas dan kewajiban sebagai nilai luhurnya.

Filsafat pun dapat “dipaksa” untuk dijumbuhkan pada sepak bola. Dalam pandangan kapitalistik, misalnya, dengan mengikuti Samuel A. Chambers (2022) elemen pertama adalah uang yang ditanamkan pada klub untuk segenap keperluan.

Elemen kedua adalah komoditas sepak bola berupa pertandingan, hak siar, merchandise, hadiah kemenangan, kontrak sponsor.

Elemen ketiga adalah keuntungan. Segala yang diupayakan pada komoditas dengan modal yang dikeluarkan ujungnya adalah keuntungan. Prestasi tim mendatangkan keuntungan. Pemodal adalah pemilik klub yang bertindak sebagai penggerak aktivitas dengan tujuan akhirnya adalah harga yang ditentukannya (keuntungan) (Lekacham, Loon, 2008).

Sepak bola adalah pasar yang dapat dikreasikan berupa pertandingan, kontrak sponsor, kontrak pemain, bagian pemain bintang pada sponsor, penjualan pernak-pernik sepak bola, terutama adalah jersey. Semuanya merupakan sumber keuntungan.

Di lain sisi, permasalahan persepakbolaan merupakan fakta ontologis yang akan memancing upaya epistemologis untuk menemukan ketepatan dan kebenaran solusi yang dibuat untuk kemudian diantarkan kepada tujuan hakiki dari keberadaan sepak bola.

Sederhananya, sepak bola adalah soal bagaimana cara menang, bagaimana cara tidak kalah dalam pertandingan dan bagaimana memenangkan kompetisi.

Tujuan bermain sepak bola adalah kemenangan tim dan pencapaian individual. Dua aspek yang selalu ditemui dalam sepak bola. Bermain bagus dan atraktif tapi tidak berhasil memenangkan pertandingan pun tidak sempurna.

Bermain biasa saja atau cenderung buruk, tetapi dapat menang pun menuai kecaman. Lebih dari itu, sepak bola adalah hiburan bagi begitu banyak orang. Kesenangan bagi yang bermain. Kebahagiaan bagi yang menonton. Kebanggaan bagi yang mengurusi. Kepuasan bagi yang berinvestasi padanya.

Hukumlah yang menjaga sepak bola yang damai untuk kemudian dikembangkan sebagai industri dan dimajukan sebagai olah raga permainan dan prestasi.

Penulis: DR. Adiwarman - Dosen, Alumni IISIP, FHUI dan Penonton Sepak Bola