Ada banyak data dan informasi yang tersedia dan dapat diakses untuk keperluan itu. Cara berpikir spekulatif mengantarkan kepada pragmatisme untuk menmukan solusi terhadap persoalan yang hadir. Masih dalam lingkup ini, cara berpikir spekulatif dapat menghasilkan solusi yang kreatif untuk menerobos stagnasi dan kelambanan.
Meminjam paradigma ilmunya Thomas Kuhn (1989), ada kondisi normal dalam penyelenggaraan kegiatan persepakbolaan, kemudian muncul krisis, dalam hal ini, katakanlah tragedi Kanjuruhan yang mengguncangkan kemapanan kepemimpinan persepakbolaan. Alasan normatif tidak memadai untuk meredam krisis. Tidak ada jalan lain, maka merujuk Statuta PSSI Pasal 34, PSSI mengadakan KLB.
Apa yang dikatakan Kuhn adalah adanya tawaran radikal terhadap pergantian pucuk pimpinan PSSI, berupa program konseptual dan tahapan pencapaian tujuan untuk merespon krisis dengan janji yang dirancang untuk dikerjakan dan diberhasilkan.
Pada tataran inilah apa yang dikatakan Franz Magnis Suseno (1992) mengutip Immanuel Kant tentang pembedaan terhadap legalitas (taat pada aturan) dan moralitas (taat pada kewajiban yang disadari dalam hati). Ini sulitnya. Bagaimana menyambungkan antara moralitas dan legalitas.
Dalam perspektif positivisme hukum, legalitas adalah maxim (titik tertinggi) dalam pelaksanaan hukum, kendati bertentangan dengan moralitas, tetapi ia kukuh sebagai benteng untuk mempertahankan eksistensi dan ketidakbersalahan.
Oleh sebab itu, dengan menggunakan legalitas pula, panggilan moral tersebut dapat disahuti dan direalisasikan. KLB legalitas yang dimaksud. Itu modal, tetapi belum menunjukkan apa-apa untuk masa depan kepemimpinan, baru sebatas tawaran program kerja yang dikemas dalam tujuan utama.
Mazhab teori kritis memberikan peluang untuk melakukan kritisisme terhadap tawaran tersebut. Tujuan menggunakan teori kritis melakukan penyingkapan tabir persoalan, mencerahkan persepakbolaan Indonesia dan membangun kesadaran kritis (Suseno, 1992) pada semua pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia.