“Pasar Batik Bromo ini harapannya bisa jadi pilihan destinasi baru orang ke Bromo dalam rangkaian acara Jazz Gunung Bromo 2023. Nantinya, wisatawan berkunjung ke Bromo tidak hanya melihat matahari terbit, tapi bisa berkunjung ke pasar batik dan juga menonton musik. Sehingga, orang berkunjung tidak hanya dalam waktu semalam saja,” ujar Sigit Pramono selaku Founder Jazz Gunung Indonesia.
Penampilan Salma Salsabil yang sangat meriah dengan antusias para fans. Salma sebagai musisi asli Probolinggo sangat dinanti dalam perhelatan Jazz Gunung Bromo 2023. Terlihat dari atas tribune para fans membawa spanduk bertuliskan “We Love Salma - Probolinggo” sebagai bentuk kecintaan fans terhadap Salma.
Antusias penonton semakin meriah saat Salma membawakan lagu ‘Rungkad’ milik Happy Asmara. Saat lagu ‘Rungkad’ dibawakan oleh Salma sontak para penonton dari yang sebagian besar berasal dari Probolinggo, Malang, Surabaya, Jakarta, dan Medan ikut berdiri untuk ikut bernyanyi bersama. Disusul oleh penampilan Deredia yang memberi warna nostalgia musik era 50-an. Penampilan interaktifnya sukses menyajikan 11 lagu.
Jelang sore hari suasana mulai dingin namun penampilan Mus Mujiono menghangatkan panggung Amfiteater Jiwa Jawa Bromo. Musisi jazz senior asal Surabaya ini mengajak para penonton menyanyikan lagu ‘Tanda-Tanda’ dan ‘Puncak Asmara’. Lagu-lagu 90-an ini seakan mengajak para penonton bernostalgia dan bernyanyi bersama di venue acara.
Jazzer asal Belanda, Henk Kraaijeveld Quartet yang mengenakan setelan jas hijau tosca ini unjuk kebolehan kualitas vokalnya. Ia bercerita tentang Saidjah dan Adinda, sebuah karya Douwes Dekker dalam buku Max Havelaar yang diangkat dalam sebuah lagu berjudul ‘Saidjah’s Song’. "Siapa yang pernah patah hati?" Tanya Henk ke penonton disambut riuh. "Lagu ini untuk kalian, kalau tahu ayo nyanyi bareng." Intro lantas menyusul dan kemudian ia nyanyikan "Kala surya tenggelam..." sambil disambut tepuk tangan riuh dan sing along.
Sebuah penampilan spesial menyusul setelah Henk. Mereka adalah Blue Fire Project by Bintang Indrianto feat. Atiek CB. Perpaduan komposisi musik dari Bintang Indrianto dengan alat musik tradisi Banyuwangi dan berkolaborasi dengan suara rock khas milik Atiek CB begitu menawan.
Ia yang tampil dengan kostum berwarna cerah menggambarkan penampilan dan kualitas vokalnya yang masih sangat prima. membuat penampilan ini semakin kaya. Kolaborasi ini berhasil membawakan lagu-lagu yang ngetop di era 80-an seperti ‘Optimis’ dan ‘Terserah Boy’. Sungguh sajian yang sangat sarat nostalgia dengan warna musik eksotis di gelaran Jazz Gunung Bromo 2023 hari pertama.
Malam semakin larut namun suasana tetap hangat ketika musisi jazz muda Ardhito Pramono bernyanyi bersama Margie Segers, diva jazz lawas era 70-an. Meski datang dari generasi yang berbeda, keduanya serasi menyanyikan tembang lagu Margie berjudul ‘Kata Hatiku’.
Bagi Ardhito, musik jazz adalah rumah untuk dirinya. “Saya sangat merindukan musik-musik jazz yang sarat unsur tradisionalnya seperti yang dibawakan Guruh Gipsy pada eranya,” ungkap Ardhito usai tampil.
Sarat Kolaborasi
Sementara di hari kedua dibuka oleh Jeremie Ternoy Trio. Personel grup legendaris MAGMA ini membawakan 8 komposisi jazz dengan sangat apik. Suguhan musiknya yang harmonis dan jernih, cocok didengarkan dan menyaksikan penampilan mereka dengan dinginnya udara gunung Bromo yang menyejukkan sore yang berkabut.
Hari kedua gelaran Jazz Gunung Bromo 2023 didominasi oleh penampilan yang sarat dengan kolaborasi. Margie Segers & Ermy Kullit feat. Yonkeys yang menjadi sajian kolaborasi pertama berhasil membuat interaksi yang hangat dengan penonton sejak membuka penampilan mereka. Mulai dari lagu ‘Naik-Naik Ke Puncak Gunung’ hingga deretan hits di era 80-an.
Kolaborasi kedua berlanjut dari Varnasvara feat. Daniel Dyonisius. Melalui nuansa jazz rock dan bereksplorasi pada harmoni alat musik tradisional seperti tehyan dan kenong dengan musik elektronik dan bahasa musik daerah di Indonesia, grup musik ini tampil sangat menawan dengan 6 lagu orisinil mereka.
Mengutip Ermy Kullit bahwa “Jazz itu kebebasan dalam keteraturan” sangat dapat dirasakan di kolaborasi ketiga antara band funk jazz rock asal Prancis, SECOND BRAIN dengan tiga pemain alat musik tiup asal Indonesia, Ricad Hutapea, Eggy Bayu, dan Parti Aditia Faoth yang sangat skillful. Perpaduan yang liar dan saling bersaut dalam tujuh komposisi sukses disajikan.
Sementara Ring of Fire Project selalu menjadi api membara di setiap penampilannya pada Jazz Gunung Bromo. Alunan musik modern yang juga kental dengan nuansa etnik secara bersamaan membuat Amfiteater Bromo jadi terasa bersemangat dan “bernyawa”.
Jama'ah Al-Jazziyah, sebutan bagi penonton Jazz Gunung Bromo tak kuasa menahan goyang dan sing along saat Denny Caknan benyanyi lagu ‘Los Dol’ bersama Ring of Fire Project. Mereka berdiri dan bergoyang menikmati koplo bercampur jazz di malam hari ini.
Menutup Jazz Gunung Bromo tahun ini, Yura Yunita berhasil membuat Jama'ah Al-Jazziyah sesekali meneteskan air mata haru dan ekspresi penuh suka cita dengan lagunya yang sarat akan makna hidup, cinta, dan pencarian jati dirinya. Sungguh sebuah sajian yang sangat hangat dan bermakna. Para penonton pun terlihat begitu berkesan setelah meninggalkan area Amfiteater Jiwa Jawa Resort untuk Jazz Gunung Bromo 2023.
Komitmen Pemberdayaan Lokal
Sudah 15 tahun sejak diselenggarakannya gelaran Jazz Gunung Bromo, para founder yang terdiri dari Sigit Pramono, Djaduk Ferianto (alm), dan Butet Kartaredjasa memiliki pemahaman bahwa musik jazz bukan budaya Indonesia. Namun musik jazz telah menjembatani pertemuan budaya yang memberikan ruang ekspresi untuk budaya lokal Indonesia itu sendiri.
“Saat itu masih menampilkan Kua Etnika bersama Djaduk yang kemudian bertransformasi menjadi Ring of Fire Project untuk mengakomodir kolaborasi musisi jazz dan musik tradisional,” kenang Sigit.
Kini Bintang Indrianto yang didapuk menjadi kurator Jazz Gunung Indonesia juga membentuk Blue Fire Project by Bintang Indrianto yang juga memiliki spirit merawat kesenian musik tradisional dan spirit lokalitasnya. Ia bersama musisi tradisional Banyuwangi membuat aransemen kolaboratif jazz dan etnik yang ritmisnya lebih progresif sesuai dengan alat musik tradisional yang digunakan.
Pasar Batik Bromo, Daya Tarik Baru Bagi Wisatawan Bromo Selain Matahari Terbit
Tidak hanya acara jazz bernuansa etnik, Jazz Gunung Bromo 2023 juga menyelenggarakan Pasar Batik Bromo sebagai nuansa baru. Sigit Pramono, founder Jazz Gunung Indonesia sekaligus Penggagas Pasar Batik Bromo memiliki inisiatif melestarikan batik lewat acara musik di Bromo.
“Upaya kita ini sebenarnya sebagai cara kita bisa melestarikan batik. Karena pebatik di beberapa daerah itu usianya sudah berumur, bisa terancam punah diantaranya batik Rifaiyah ini,” tegas Sigit.
Batik Rifaiyah asal Batang, Jawa Tengah ini diperkenalkan lewat salah satu acara bernama Pasar Batik Bromo dan pembukaan Rumah Batik Afifah yang ada di Jiwa Jawa Resort Bromo. Di sini pengunjung diperkenalkan dengan batik Rifaiyah dan seniman batik aslinya secara langsung.
Dudung Alisjahbana, maestro batik Indonesia menambahkan upaya melestarikan batik Rifaiyah ini bisa menyelamatkan seluruh batik di Indonesia. Ia mengatakan batik Indonesia harus jadi bagian warga negara dunia. “Saat ini UNESCO kan sudah meresmikan batik dari Indonesia. Nah, itu tidak cukup, batik harus jadi warga negara dunia dan dipakai seluruh warga negara lain. Maka dari itu lewat acara Jazz Gunung yang melibatkan turis mancanegara kita perkenalkan,” kata Dudung dalam kesempatan yang sama.
Pada rangkaian acara Pasar Batik Bromo yang jadi salah satu bagian acara Jazz Gunung Bromo 2023, pengunjung ditawarkan untuk ikut tiga aktivitas di sini. Pengunjung lokal maupun internasional bisa berbelanja batik, mengunjungi Rumah Batik Afifah, workshop batik dan bincang bersama melestarikan batik Rifaiyah.
Rangkaian acara Jazz Gunung Bromo 2023 yang mengangkat etnis lokal ini harapannya bisa melebarkan destinasi wisata Bromo. Tidak hanya menikmati pemandangan matahari terbit namun pengunjung bisa eksplorasi musik jazz dan wisata batik tradisional.