Sosok Lengkap
Indonesia kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Salim sosok lengkap : ilmuwan, wartawan, seniman, budayawan, pakar militer, pengamat politik.
Saya mengenal almarhum lebih 40 tahun lalu. Meski satu kampung - sama-sama dari Sulawesi Selatan--praktis kami baru saling mengenal setelah di Ibukota.
Namanya sudah sangat sohor sebagai wartawan yang disegani --salah satu pimpinan majalah Tempo -- sewaktu saya baru memulai karir jurnalistik di Harian Angkatan Bersenjata ( HAB) di tahun 1976. Di HAB sendiri, Prof Salim malah lebih dulu bekerja, di awal terbit tahun 1965, sebelum akhirnya ikut mendirikan Majalah Tempo bersama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri. Ketika memutuskan mundur dari Tempo, saya termasuk yang dimintai saran dan pertimbangan.
Perkenalan pertama kami di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan di Pusat Kesenian Jakarta itulah selanjutnya kami sering bertemu, berdiskusi, tepatnya berguru, urusan kesenian dan terutama film karena ia memang sudah dikenal luas sebagai kritikus film. Hampir setiap sore, pulang kantor, Salim mampir di TIM bertemu dengan seniman-seniman beken, seperti Sumandjaya, Ami Priyono, Wahyu Sihombing, Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan banyak lagi.
Mengikuti diskusi para seniman besar itu saja sudah sebuah kenikmatan tersendiri. Semacam oase ilmu yang kami hirup setiap hari. Kecintaan Salim terhadap film tak pernah lekang. Semasa menjadi Dubes RI di Republik Ceko, setiap tahun dia menyelenggarakan semacam kegiatan festival film Indonesia. Saya kebagian tugas menghubungi pemilik film, dan mengurusi pengiriman filmnya ke sana. Meski saya tidak punya kesempatan memenuhi undangannya berkunjung ke Praha, Ceko tempat dia bertugas.
Saya pertama kali ke Amerika Serikat dengan Prof Salim serta dedengkot wartawan Indonesia, Rosihan Anwar, di tahun 1991. Waktu itu, saya mewakili produser film, ditugaskan membawa film " Bibir Mer" karya Arifin C Noer untuk berlaga di ajang Piala Oscar.