Antv – Menjelang Pilpres dan Pileg 2024, FKPPI mengingatkan dan mengajak politisi tidak terjebak pada demokrasi prosedural dan tekanan oligarki. Kembali pada demokrasi Pancasila dan UUD 45.
"Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek dengan muara arus kebangsaan dan kenegaran yang tak menentu. Pilihan dan program pembangunan tercegat kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan," papar Ketua Umum FKPPI Pontjo Soetowo dalam pidatonya pada acara Dialog Kebangsaan dalam rangka syukuran HUT FKPPI ke-45 di Jakarta, Selasa (12/09/2023).
Hadir dalam acara tesebut sejumlah politisi, dan tokoh politisi Golkar Bambang Susatyo, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Ketua DPD LaNyala M. Mattalitti, Bagir Manan, Sri Edy Swasono PhD, Siti Zuhro, Yudhi Latief, dan Bambang Wibawarta. Sedangkan dua capres Ganjar Pranowo dan Anis Baswedan menyampaikan testimoni melalui video.
Pontjo mengatakan, setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun kemajuan yang dicapai itu berdiri di atas landasan yang goyah.
"Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Politik dan etik terpisah seperti minyak dan air," ungkapnya.
Dikatakan Pontjo, Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengan surplus ritual dan ucapan, namun miskin penghayatan dan pengamalan. Dalam realitasnya, Pancasila tak lagi dijunjung tinggi sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pontjo mengatakan, sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki.
"Di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara: melindungi segenap bangsa," ucapnya.
"Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dijalani secara kontradiktif. Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang berkesinambungan untuk meresponnya. Namun, orientasi politik dan visi waktu politik kita justru tertawan short-termism," lanjut Pontjo.
Sementara itu, akademisi Yudhi Latief yang hadir sebagai penyimpul mengatakan, pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial.
"Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita," kaya Yudhi.
Dengan memperhatikan berbagai distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam rentang waktu 25 tahun Orde Reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tidak berada di jalur yang tepat. Distorsi dan degenerasi demokrasi bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, tapi kegagalan sistemik.
Oleh karena itu, dalam forum ulang FKPPI ke-45 ini, para pembicara dengan redaksi yang berbeda, dalam arus besarnya menemukan kesepahaman dalam ajakan untuk kembali ke fitrah cita negara Pancasila dengan jalan kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk dilakukan penyempurnaan secara bertahap dengan cara addendum.
HUT ke-45, FKPPI Ingatkan Politisi Jangan Terjebak Demokrasi Prosedural dan Oligarki
Jumat, 15 September 2023 - 18:03 WIB
Baca Juga :