Tertulis sebagai “Penunjuk” di SHM 25952 itu, adalah “Sebidang Tanah Bekas Tanah Milik Indonesia Persil Nomor 6 D1, Kohir 51 C1”. Padahal, Persil 6 D1 adalah milik Tjoddo, dan Kohir 51 C1 adalah milik Sia.
Kurang dari satu tahun setelah terbitnya SHM 25952, yakni pada 13 April 2015, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar kembali menerbitkan SHGB 21970, dengan luas tanah 29.321 meter persegi, atas nama M. Idrus Mattoreang dkk.
Penunjuk yang tertera di SHGB Nomor 21970 ini, adalah SHM Nomor 25952 [Bekas Hak Milik Nomor 490/Bulurokeng].
Dan, tepat satu tahun setelah terbitnya SHGB 21970 ini, yakni pada 13 April 2016, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar kembali menerbitkan SHGB dengan nomor yang sama, yakni 21970.
SHGB 21970 terbitan 13 April 2016 inilah yang kemudian disebut Legal Manager PT ICC, Inriwan Widiarja, sebagai bukti kepemilikan dalam transaksi jual beli tanah Kilometer 18 antara PT ICC dan keluarga ahli waris Tjonra Karaeng Tola. Inriwan terkesan benar mengesampingkan bukti-bukti yuridis atas hak kepemilikan sesungguhnya atas tanah di Kilometer 18 itu. Bahwa tanah tersebut adalah milik Almarhum Tjoddo, yang lepas dari penguasaan ahli warisnya berkat pendudukan paksa Surat Rintjik Kohir 51 C I dari Kilometer 17 dan SHM 490 dari Kilometer 20.
Atas dasar itu, sangat tidak masuk akal, bila Inriwan, atas nama PT ICC, kemudian juga berniat melaporkan pihak-pihak yang menutup paksa lahan bangunan di Kilometer 18 itu kepada polisi, dengan dalih: pihak-pihak itu telah melakukan penyerobotan layaknya mafia tanah.
Sebab, sejatinya, ahli waris Tjoddo-lah yang telah jadi korban para mafia tanah, yang kemudian menjual tanah itu kepada PT ICC. Ini berarti, PT ICC-lah yang seharusnya di-polisi-kan, karena telah menadah hasil kejahatan para mafia tanah.