Antv – Rumah itu sederhana saja, bahkan teramat-sangat sederhana. Terletak tepat di sisi kiri jalan tol yang membelah kawasan Kelurahan Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan.
Di rumah itu senantiasa tersaji pemandangan mengenaskan: seluruh anggota pemilik rumah lebih senang duduk-duduk dan bercengkerama di teras atau halaman rumah tersebut.
Itu nyaris berlangsung setiap hari, karena menurut Abd Jalali Daeng Nai, sang kepala keluarga pemilik rumah udara di dalam rumah selalu terasa sangat panas. Sementara, kipas angin yang ada sangat terbatas. Padahal, sekeliling rumah nyaris tidak ada lubang ventilasinya.
Sebelum menetap di rumah tersebut, Daeng Nai lama nyaman bermukim bersama keluarganya di tanah warisan peninggalan kakeknya, Tjoddo, di Kampung Pai, Kecamatan Biringkanaya, Makassar.
Namun, ia kemudian terpaksa pindah dari tanahnya tersebut, setelah diusir oleh keluarga Tjonra Karaeng Tola.
Salah satu anak Tjonra Karaeng Tola dikenal dengan nama Karaeng Rama, tokoh yang pernah amat-sangat ditakuti di Kota Makassar.
Adapula nama M. Idrus Mattoreang, yang terhitung punya keterlibatan sangat dalam atas aksi pengambil-alihan tanah milik Tjoddo dan ahli warisnya tersebut.
Padahal, kepemilikan Tjoddo dan ahli warisnya atas tanah itu sah dan kuat secara hukum, karena didukung oleh sejumlah bukti yuridis.
Bukti pertama, adalah Surat Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia tanggal 24 September 1960 dari Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia Cabang Makassar.
Kedua, Surat Riwayat Tanah atas nama Tjoddo. Ketiga, Surat Pajak Hasil Bumi, Surat Pembayaran Ipeda, dan Surat Pembayaran PBB. Keempat, Bukti Pajak Tanah Governement Soelawesi, Onder Afdelin Maros, Distrief Adatgen Mandai/Biringkanaya, Kampung/Desa Boeloeroekeng, Kampoeng Pai Nomor 157 yang menerangkan bahwa Nama Wajib Iuran: Tjoddo, Nomor Kohir: 54 C1, Tempat Tinggal: Kampung Pai, Persil 22 S1 Luas 0,58 hektar, Persil 6 D1 Luas 5,87 hektar, Buku F dari Departemen Keuangan RI qum quibus Ditjen Pajak cum quibus Dit. PBB cum quibus Kanwil XII Ditjen Pajak cum quibus Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Ujung Pandang, Kampung Pai 157, Desa Bulurokeng, Kecamatan Biringkanaya, Kelurahan Mandai yang padanya terdapat keterangan bahwa Persil 6 D 1 Luas 0,63 Hektar, 6 D1 Luas 0,12 Hektar, 6 D1 Luas 5,12Hektar, dan Persil 22 S1 Luas 0,58 Hektar atas nama Tjoddo, serta Surat Keterangan Lurah Pai Tahun 2013, Nomor 593/03/KP/XI/2013, yang terdaftar berdasarkan Buku C Tahun 1955 atas nama Tjoddo, Persil 6 D1, Kohir 54 C1, Blok 157 Lompo Pai.
“Namun, data dan dokumen selengkap itu, kemudian menjadi tidak berarti apa-apa, setelah tanah warisan kakek saya, Tjoddo, yang berada di kilometer 18, dipalsukan oleh keluarga Tjonra Karaeng Tola, untuk digunakan bertransaksi jual beli dengan pihak Indogrosir pada tahun 2014,” tutur Daeng Nai. Modus penipuan adalah dengan mendudukkan Sertifikat Hak Milik [SHM] Nomor 490/1984 Bulurokeng seluas 54.142 meter persegi atas nama Annie Gretha Warow dari Kilometer 20, di tanah milik Tjoddo di Kilometer 18, serta membuat surat rincik palsu Kohir 51 C1, Persil 6 D1, seluas 5,75 hektar dari Kilometer 17 atas nama Tjonra Karaeng Tola," ujar Daeng Nai.
“Padahal, Kohir 51 C1 itu tercatat atas nama Sia Pr. Sedangkan Persil 6 D1, Kohir 54 C1, tercatat atas nama Tjoddo. Sesuai surat keterangan Pemerintah Kota Makassar, Kecamatan Biringkanaya, Kelurahan Pai, Nomor 593/03/KP/XI/13, yang terdaftar berdasarkan Buku C tahun 1955, tercatat pula nama Tjoddo sebagai pemilik tanah di Persil 6 D1, Kohir 54 C1, Blok 157 Lompo Pai,” tambahnya.
Klaim Daeng Nai atas kepemilikan tanah warisan kakeknya Tjoddo tersebut, diakui kebenarannya oleh Frans S. Parera, SH.
Melalui telaah yuridis yang ditulisnya, dan ditujukan kepada pihak Indogrosir, Pensiunan Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan itu tegas mengatakan, bahwa Tanah Hak Milik Belum Bersertifikat Persil Nomor 6 D 1 dan Persil 22 S 1 kepunyaan Tjoddo dan ahli warisnya merupakan Hak Asasi Manusia dari Tjoddo dan Ahli Warisnya, berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999.
“Yang tidak boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan dengan cara melawan hukum oleh siapa pun, sedemikian berdasarkan Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999. Yang oleh Pemerintah Pusat – Partai – Golongan atau Pihak mana pun tidak dibenarkan mengurangi - merusak atau menghapus Hak Asasi Manusia itu, sedemikian berdasarkan Pasal 74 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” tulis Frans.
Frans juga menulis, perbuatan Tjonra Karaeng Tola, dalam hal ini adalah ahli warisnya, M. Idrus Mattoreang, terkait Indogrosir, telah merugikan perempuan Sia, karena tanah milik adatnya di Kampung Pai Nomor 157 Kohir Nomor 51 C 1 digunakan M. Idrus Mattoreang tanpa ganti rugi.
“Juga merugikan Ahli Waris Tjoddo, karena Tanah Milik Indonesia atas nama Tjoddo di kampung Pai Nomor 157, Kohir Nomor 54 C 1, yang padanya dibangun bangunan Indogrosir tidak mendapat ganti rugi sesen pun,” tulis Frans pula.
Seiring dengan telah terjadinya transaksi jual beli antara Indogrosir dan keluarga Tjonra Karaeng Tola, Frans pun menulis, “Jual beli Tanah Milik Adat kepunyaan Tjoddo antara M. Idrus Mattoreang dan PT ICC menjadi tidak sah, karena dijual bukan oleh Pemilik Tanah Adat yang bernama Tjoddo cum suis (bertentangan dengan pasal 1457 KUH Perdata). Menjual barang/tanah yang bukan miliknya sendiri (terancam tindak pidana Pasal 385 KUH Pidana). Menggunakan surat/SHM Palsu (terancam Tindak Pidana pasal 263 ayat (2) KUH Pidana).”
Untuk diketahui, PT ICC [Inti Cakrawala Citra], sebagaimana ditulis Frans, adalah perusahaan pemilik dan pengelola Indogrosir.
Khusus terkait perusahaan ini, Frans antara lain juga menulis, bahwa menguasai tanah yang padanya dibangun Gedung Indogrosir Makassar, merupakan perbuatan melawan hukum.
“Yaitu Pasal 1457 KUH Perdata, Pasal 385 KUH Pidana, dan Pasal 263 ayat (2) KUH Pidana,” tulis Frans.
Ringkas kisah, sejatinya, tidak ada satu pun celah hukum yang bisa digunakan Indogrosir untuk tetap bertahan di atas lahan yang nyata-nyata bukan miliknya tersebut, namun masih tercatat atas nama Tjoddo dan ahli warisnya, dalam hal ini Daeng Nai beserta keluarganya.
Karenanya, wajar bila sejak 2014 hingga saat ini, tak lagi terhitung banyaknya aksi dan upaya perebutan paksa yang dilakukan oleh Daeng Nai.
Aksi heroik terakhir berlangsung pada hari Minggu pagi di Bulan Puasa lalu, tanggal 15 April 2023, dengan melakukan penyegelan atas gerbang masuk lokasi Indogrosir.
Saat itu, pihak Indogrosir sempat menawarkan kepada Daeng Nai dan keluarganya untuk melakukan gugatan hukum kepengadilan, bila ingin kembali memiliki tanah tersebut.
Pihak Indogrosir berdalih, Indonesia adalah negara hukum. Tanah yang kini ditempati oleh Indogrosir, sepenuhnya memiliki dasar hukum yang kuat, yakni sertifikat, meski sertifikat itulah yang kini menjadi pangkal sengketa antara Indogrosir dengan ahli waris keluarga Tjoddo. Namun, tawaran Indogrosir tersebut ditolak mentah-mentah oleh Daeng Nai.
Selaku orang paling berkepentingan atas kembalinya tanah warisan itu, Daeng Nai menilai, amat-sangat tidak masuk akal bila dirinya harus melakukan gugatan hukum atas tanah miliknya di Kilometer 18 itu, yang nyata-nyata telah diduduki paksa Indogrosir dengan menggunakan sertifikat palsu dan rincik palsu dari Kilometer 20 dan Kilometer 17.
“Bagaimana mungkin saya harus menggugat hak kepemilikan atas tanah saya sendiri?” tutur Daeng Nai. Lelaki berusia 64 tahun, pensiunan Departemen Perhubungan, ini kemudian bahkan menebar ancaman akan menutup paksa gerbang masuk ke tanah yang kini ditempati bangunan Indogrosir, dalam waktu yang tidak terlampau lama lagi. “Saya dan keluarga saya sudah siap mati, bahkan bila perlu tewas terkubur di tanah kami sendiri,” tegas Daeng Nai.
Mengingat bapak enam anak dan kakek sembilan cucu ini pernah sangat berani menyegel gerbang masuk lahan berdirinya Indogrosir pada 15 April 2023 lalu, maka ancaman tersebut tentu tak sepatutnya dianggap angin lalu semata.