Menurut Wahyu, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum mengatur, bahwa relasi kuasa adalah yang bersifat hirarkis ketidaksetaraan dan apa ketergantungan sosial, budaya, pengetahuan, pendidikan atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya.
“Dalam konteks relasi antargender, sehingga merugikan yang memiliki posisi lebih rendah. Ada dua unsur penting dalam pengertian relasi kuasa diatas, pertama yaitu hirarkis yang meliputi posisi antarindividu lebih rendah atau lebih tinggi dalam suatu kelompok atau tanpa kelompok,” kata Wahyu.
Kedua, kata Wahyu, ketergantungan. Artinya, seseorang bergantung pada orang lain karena status sosial, budaya, pengetahuan, pendidikan atau ekonomi. Kedua unsur relasi kuasa tersebut, menimbulkan ketimpangan relasi kuasa.
“Sehingga penyebab terjadinya kekerasan seksual, ketimpangan relasi kuasa ini dapat terjadi ketika pelaku merasa bahwa dirinya memiliki posisi lebih unggul juga dominan dibanding korban,” jelas dia.
Dari pengertian diatas, Hakim Wahyu menyebut bahwa orang yang memiliki posisi lebih unggul dalam hal ini Putri Candrawathi karena istri dari terdakwa (Ferdy Sambo) yang menjabat sebagai Kadiv Propam dan latar belakang pendidikan Putri adalah seorang dokter gigi.
“Sementara korban Nofriansyah hanya lulusan SMA dan seorang ajudan berpangkat brigadir yang ditugaskan sebagai ajudan terdakwa untuk membantu Putri, baik sebagi supir maupun tugas lainnya. Sehingga dengan adanya ketergantungan relasi kuasa, sangat kecil kemungkinan kalau korban melak kekerasan seksual terhadap Putri,” ungkapnya.
Selain itu, Hakim Wahyu mengatakan tidak adanya fakta yang mendukung Putri mengalami gangguan stres pasca trauma, akibat pelecehan seksual atau perkosaan. Pelecehan seksual atau perkosaan biasanya dikaitkan dengan relasi kuasa, ketika pelaku mempunyai kekuasaan lebih daripada korban.