Karena itu, kata Saiful, jika ingin menambah periode jabatan tiga tahun tanpa dipilih oleh rakyat, itu jelas harus mengubah konstitusi.
Saiful bahkan menyebut ide penambahan durasi kekuasaan itu adalah makar.
“Ide ini (penambahan kekuasaan tiga tahun), bagi saya, agak makar karena bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas membatasi kekuasaan,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Survei SMRC pada Mei 2021, September 2021, Maret 2022, dan Oktober 2022 menunjukkan mayoritas publik ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden hanya 2 kali dan masing-masing selama dua tahun.
Dalam empat kali survei tersebut, rata-rata 77 persen publik yang ingin ketentuan itu dipertahankan, sementara yang ingin mengubahnya hanya 13 persen.
Saiful menjelaskan bahwa dari 13 persen yang ingin perubahan, mayoritas mereka menginginkan masa jabatan presiden justru dipersempit, bukan ditambah lebih dari dua kali.
Menurut Saiful, data ini menunjukkan fenomena yang menarik. Di satu sisi rakyat memuji kinerja Presiden Jokowi.