Protes Rusuh di Haiti Terkait Seruan Pemerintah Meminta Pasukan Asing

Unjuk Rasa yang berujung rusuh di Haiti. (Foto : Reuters)

Antv –Ribuan orang di Haiti yang sedang dilanda krisis telah turun ke jalan di ibu kota Port-au-Prince. Mereka menentang keputusan pemerintah yang sedang mencari bantuan militer asing untuk memadamkan kekerasan terkait geng.

Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa. Demonstran pada hari Senin (10/10/2022) berteriak menentang ‘pendudukan asing’ dan menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Ariel Henry.

Perdana Menteri pada hari Jumat (7/10/2022) telah meminta mitra internasional untuk "penggelaran segera angkatan bersenjata khusus, dalam jumlah yang cukup" untuk menghentikan tindakan kriminal bersenjata geng di seluruh negeri.

Beberapa orang tertembak dan satu orang dilaporkan tewas dalam unjuk rasa tersebut. Para pengunjuk rasa menyalahkan polisi atas kematian itu.

“Ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh polisi. Gadis muda ini tidak menimbulkan ancaman. Dia dibunuh karena mengekspresikan keinginannya untuk hidup bermartabat,” kata seorang pengunjuk rasa, yang menolak menyebutkan namanya.

“Kami tentu membutuhkan bantuan untuk mengembangkan negara kami, tetapi kami tidak membutuhkan sepatu bot (militer di lapangan),” kata pengunjuk rasa lain.

Mereka menuduh bahwa masyarakat internasional mencampuri urusan internal Haiti dan bahwa pemerintah tidak memiliki legitimasi untuk meminta bantuan militer asing.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin (10/10/2022) menyerukan pengerahan segera pasukan internasional khusus di Haiti untuk membantu negara Karibia tersebut yang sedang menghadapi kekurangan bahan bakar dan air.

Duta Besar Haiti untuk Amerika Serikat juga mengatakan pada hari Senin (10/10/2022) bahwa AS dan Kanada harus memimpin dengan membentuk kekuatan untuk menghadapi geng-geng di Haiti.

"Kami ingin melihat tetangga kami seperti Amerika Serikat, seperti Kanada, memimpin dan bergerak cepat," kata Duta Besar Haiti untuk AS, Bocchit Edmond kepada Reuters.

“Ada ancaman yang sangat besar atas kepala perdana menteri. Jika tidak ada yang melakukan dengan cepat, ada risiko kepala negara lain (akan) terbunuh di Haiti,” katanya, merujuk pada pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada 2021.

sumber: Aljazeera