Sains Ungkap Manfaat Memaafkan untuk Kesehatan Fisik dan Mental

Sains Ungkap Manfaat Memaafkan untuk Kesehatan Fisik dan Mental (Foto : )

Manfaat memaafkan untuk kesehatan fisik dan mental yaitu, membantu mengelola stres, mengaktifkan sistem saraf parasimpatik, dan membantu menurunkan risiko gangguan psikologis. Kesulitan dalam memaafkan rupanya berdampak bagi kesehatan. Menurut Everett L. Worthington Jr., PhD, Profesor Emeritus di Virginia Commonwealth University, Richmond, cara orang mencapai keadaan memaafkan berbeda-beda. Namun biasanya terbagi dalam dua kategori, yaitu memutuskan memaafkan dan memaafkan emosional.  “Anda dapat mengalami perubahan dalam emosi Anda, dan kemudian memutuskan untuk memaafkan, atau Anda dapat memutuskan untuk memaafkan terlebih dahulu dan mengalami perubahan itu secara emosional di kemudian hari,” kata Dr. Worthington. Karena hubungan kita dengan orang lain sangat penting untuk kesehatan, maka mampu memaafkan, dan berkomunikasi dengan orang lain bahwa Anda telah memaafkan mereka, akan bermanfaat bagi kesehatan Anda dan mereka.  ”Jangan lupa, kesehatan mental berhubungan langsung dengan kesehatan fisik,” ujar Dr. Worthington. Lebih lanjut, Dr. Worthingtong menyebutkan tiga bukti bahwa memaafkan memengaruhi kesehatan mental dan fisik. Berikut penjelasannya seperti dilansir dari Everyday Health. Membantu mengelola stres  Sebuah penelitian menunjukkan, tidak bisa memaafkan akan terus menumbuhkan perasaan marah, permusuhan, dan stres, yang didokumentasikan dengan baik untuk mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.  Sebuah studi yang diterbitkan pada April 2016 dalam jurnal Annals of Behavioral Medicine dietmukan bahwa tanpa memandang usia, orang yang mampu memaafkan mengalami penurunan persepsi mereka tentang stres mereka sendiri. Dan penurunan ini menyebabkan penurunan tekanan psikologis. Sebaliknya, stres-kortisol memiliki beberapa efek negatif pada sistem di seluruh tubuh.  “Kortisol yang meningkat secara kronis, dapat mengecilkan ukuran bagian otak Anda termasuk hipokampus, yang bertanggung jawab untuk mengubah pengalaman menjadi kenangan,” kata Worthington.  “Karena hubungan stres-kortisol inilah, ketika seseorang tidak mampu memaafkan dan melepaskan stres tertentu akan berpotensi mempengaruhi memori,” tambahnya.  Worthington menambahkan, kortisol juga mendatangkan malapetaka di tempat lain di tubuh. Ini mempengaruhi sistem kekebalan pada tingkat sel, yang berarti dapat menyebabkan kerusakan luas pada semua bagian tubuh yang disentuh sistem kekebalan dengan cara yang tidak terduga.  "Ini dapat mengganggu segalanya mulai dari sistem seksual dan reproduksi, sistem pencernaan hingga kemampuan Anda untuk melawan penyakit dan kelelahan," kata Worthington. Mengaktfikan sistem saraf parasimpatik Menurut Worthington, memaafkan juga mempengaruhi sistem saraf parasimpatik, yang memperlambat pernapasan dan detak jantung, serta meningkatkan pencernaan. Sistem saraf simpatik dan parasimpatik bekerja bersama, sehingga tubuh Anda dapat mengatur hal-hal seperti tekanan darah dan detak jantung, dan berfungsi sebagaimana mestinya, baik dalam situasi stres maupun saat-saat tanpa stres.  Tetapi, ketika seseorang berada di bawah tekanan kronis, yang dapat terjadi ketika seseorang menahan amarah, tubuh kemungkinan bertahan dalam respons melawan-atau-lari terlalu lama.  “Sistem saraf parasimpatik adalah bagian yang menenangkan dari sistem saraf, sehingga ini bisa mematikan rangsangan berlebihan pada area tertentu,” kata Worthington. Apa pun yang dapat dilakukan seseorang untuk menenangkan diri ketika mengalami stres, akan mengaktifkan sistem saraf parasimpatik dengan cara ini, termasuk saat memaafkan. Selain itu juga dapat membantu pikiran dan tubuh, karena membawa sistem saraf simpatik dan parasimpatik lebih seimbang.  Ada penelitian yang menunjukkan, bahwa efek memaafkan kemungkinan memang signifikan dalam hal mempengaruhi hasil kesehatan, seperti fungsi kardiovaskular. Dalam analisis yang diterbitkan di Journal of American College of Cardiology, peneliti menemukan bahwa kemarahan dan permusuhan terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung, serta hasil yang lebih buruk bagi orang yang sudah memiliki penyakit tersebut.  Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Behavioral Medicine meneliti memaafkan sebagai prediktor kematian, dan menemukan hubungan yang signifikan secara statistik. Dari catatan penulis penelitian, memaafkan orang lain dikaitkan dengan penurunan risiko semua penyebab kematian. Membantu menurunkan risiko gangguan psikologis Menurut Worthington, tindakan tidak memaafkan seseorang atau menolak memaafkan seseorang hampir selalu ditandai dengan merenungkan dan memikirkan masalah tersebut berulang kali. Dan jika kita terus memikirkannya, maka itu justru dapat menyebabkan gangguan psikologis.  “Kita semua akan memikirkan masalah, tetapi caranya berbeda pada setiap individu. Beberapa orang melakukannya dengan marah, beberapa orang memikirkannya dengan putus asa atau merasa tertekan. Yang lain melakukannya dengan cemas,” kata Worthington.  Pikiran invasif dan berulang ini pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kemarahan, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, depresi, atau gangguan psikosomatik, di mana stres dan kecemasan menyebabkan penyakit fisik seperti, sakit perut atau migrain.  “Ketika orang mampu memaafkan, mereka masih memikirkannya sampai tingkat tertentu, tetapi mereka mampu melepaskan banyak kepahitan dan kemarahan itu. Memaafkan tidak membuat kita berhenti memikirkannya, tetapi dapat mengurangi toksisitasnya,” kata Worthington.